JAKARTA, ifakta.co – Jakarta kota metropolitan yang menjanjikan segudang peluang, kerap menjadi tujuan bagi banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia yang ingin memperbaiki nasib. Di antara mereka, terdapat para wanita dan pria yang memilih profesi sebagai therapist spa — pekerjaan yang tak selalu mendapat sorotan, namun punya cerita yang tak kalah dalamnya.
Banyak therapist spa berasal dari daerah-daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, atau Sumatera. Mereka datang dengan harapan bisa menghidupi keluarga, membangun masa depan, atau sekadar mencari peruntungan baru. Di balik ruangan aromaterapi dan musik lembut spa, tersembunyi perjuangan yang kerap tak terlihat.
Sebagian besar therapist spa memulai karier dengan modal minim: sekadar ijazah SMA dan pelatihan singkat. Beberapa mengikuti kursus kecantikan atau terapi pijat dari lembaga informal, sementara yang lain belajar langsung di tempat kerja. Tak sedikit pula yang datang ke Jakarta hanya dengan tekad, lalu belajar sambil bekerja.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka tinggal di kamar kos sempit, berbagi tempat tidur dengan rekan kerja lain, demi menghemat pengeluaran. Jam kerja panjang, terutama di tempat spa yang buka hingga larut malam, menjadi tantangan tersendiri.
Meski bekerja secara profesional, profesi therapist spa sering kali menghadapi stigma. Tidak sedikit masyarakat yang masih mengaitkan pekerjaan ini dengan konotasi negatif. Padahal, banyak therapist yang bekerja secara jujur, menjaga etika, dan menjalankan tugas sesuai standar layanan kesehatan dan kecantikan.
Stigma tersebut bisa menyulitkan mereka, baik dalam kehidupan sosial maupun saat ingin mencari pekerjaan lain. Beberapa bahkan harus menyembunyikan pekerjaannya dari keluarga karena khawatir dipandang rendah.
Meskipun berada di kota besar, penghasilan therapist spa tidak selalu mencerminkan kerasnya perjuangan mereka. Sistem bagi hasil, target layanan, dan potongan dari manajemen kadang membuat pendapatan bersih jauh dari harapan. Banyak dari mereka hanya mendapatkan Rp2 juta hingga Rp4 juta per bulan, tergantung tempat dan jumlah pelanggan.
Namun, di balik keterbatasan itu, ada keteguhan. Mereka tetap tersenyum melayani pelanggan, tetap bersikap profesional, dan tetap menaruh harapan bahwa suatu hari nanti hidup mereka akan membaik.
Bagi sebagian therapist, pekerjaan ini hanyalah batu loncatan. Ada yang bermimpi membuka usaha spa sendiri di kampung halaman. Ada pula yang ingin melanjutkan pendidikan atau sekadar memiliki kehidupan yang lebih layak.
Meski Jakarta tak selalu ramah, mereka tetap bertahan. Karena di balik setiap pijatan dan sentuhan relaksasi, ada kisah perjuangan manusia yang tak ingin menyerah pada keadaan.
(Jo)