Kamsul Hasan saat berdiskusi dengan Kepala Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Subang Kang Asep dan staf
ifakta.co, Jakarta – Menanggapi pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh wartawan maupun pelaku pers, soal media asing yang ada di Indonesia. Dosen Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP) Jakarta Kamsul Kasan memaparkan, bahwa UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers membatasi diri pada Pers Nasional.
“Media asing tidak tunduk pada UU ini, termasuk wartawannya,” ujar Kamsul saat berdiskusi di Kantor Kepala Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Subang, Jawa Barat, Kamis 23 Januari 2020.
Dosen yang pernah menjabat sebagai Ketua PWI Jaya ini menjelaskan, pada Pasal 16 dijelaskan bahwa, peredaran pers asing dan pendirian perwakilan perusahaan pers asing di Indonesia disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
Ia menegaskan kembali, Pasal 16 cukup jelas, yaitu obyek hukum UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers jelas mulai dari Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 2, sampai Pasal 9 ayat (2).
Lalu Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi, Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).
“Pertanyaan siapa subyek hukum yang dilindungi oleh pasal di atas ?”
“Pasal 4,” tegasnya.
Kembali Kamsul memaparkan, pada pasal 4 ayat (2) dijelaskan, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi
“Kedua ayat yang dirujuk oleh Pasal 18 ayat (1) baik pada Pasal 4 ayat (2) atau Pasal 4 ayat (3) sangat jelas yaitu Pers Nasional, bukan pers asing,” imbuhnya.
Menurut dia, pers dan wartawan asing juga tidak tunduk pada perintah Pasal 7 ayat (2) yang memerintah memiliki dan mentaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Lebih jauh dikatakannya, bahwa media asing juga tidak tunduk pada perintah Pasal 5 ayat (1) UU Pers yakni mengenai, pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
“Bahkan status tersangka terhadap wartawan asing yang salah gunakan izin kerja pun merupakan pelanggaran hukum keimigrasian,” kata Penasehat Hukum di Harian Pos Kota ini.
Siapa pun yang memasuki negara orang, tambahnya, dia harus patuh pada hukum dan kedaulatan negara itu. Mereka tidak dilarang melakukan liputan di Indonesia sepanjang izin kerja sesuai.
“UU No. 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, khususnya Pasal 122 dengan jelas mengatur itu,” imbuhnya.
Dia juga memaparkan isi pada Pasal 122 itu, yaitu; dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)tahun dan pidana denda paling paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah):
a. setiap Orang Asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya.
Menurut dia, ada dua pilihan media atau pers asing untuk lakukan liputan di negara orang. Pertama menggunakan izin kerja yang sesuai. Cara lainnya adalah merekrut tenaga kerja lokal, sehingga tidak memerlukan izin kerja keimigrasian.
“Profesi wartawan tidak memiliki kekebalan hukum. Kemerdekaan pers Indonesia seperti tercantum pada Pasal 2 UU Pers, harus dilakukan dengan prinsip-prinsip, demokrasi, keadilan dan supremasi hukum,” pungkasnya. (amy)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT