Poto: Kamsul Hasan.bersama Agi Sugiyanto saat diskusi bisnis era digital, kejahatan dan ancamannya.
ifakta.co, Jakarta – Dewan Pers berencana akan mengadakan Penyegaran Ahli Pers pada Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) yang akan digelar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 7 Februari 2020 mendatang.
Hal itu membuat Staff Pengajar dan Dosen Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IIPIS) Jakarta Kamsul Hasan tergelitik pikirannya.
Kamsul mempertanyakan, materi apa yang akan disegarkan. Apakah materi UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) akan masuk kurikulum penyegaran.
“Sebagaimana kita pahami pada 9 Februari 2019 tahun lalu di HPN Surabaya, Dewan Pers menetapkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) yang bersumber dari UU SPPA,” ujar salah satu penguji materi Ujian Kompetesi Wartawan (UKW) ini kepada ifakta.co, Kamis 23 Januari 2020 pagi.
Selama ini menurut dia, pelatihan ahli pers belum pernah membahas kedudukan hukum UU SPPA yang lebih tinggi dari UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Apakah ini akan dibahas ?” tanyanya.
Pemahaman ahli pers selama ini berpusat pada UU Pers dan KEJ saja. Padahal kata dia Dewan Pers sendiri secara tidak langsung sudah mengaku KEJ “jadul (jaman dulu)” alias ketinggalan zaman.
Penasehat hukum di Harian Pos Kota ini menjelaskan, lahirnya Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) pada tahun 2011 jelas memberikan interupsi terhadap Pasal 1 dan Pasal 3 KEJ melalui Butir 2 PPMS.
“Keberimbangan berita dan uji informasi (konfirmasi dan klarifikasi) yang wajib pada era cetak menjadi upaya atau usaha melakukan itu pada era media digital,” ujarnya.
Selain Pasal 1 dan Pasal 3, Pasal 5 KEJ, menurutnya, malah definisinya dikoreksi oleh Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). KEJ yang bersumber pada KUHP dikoreksi dengan UU SPPA.
Kamsul mendefinisikan, pada Pasal 5 KEJ, anak adalah mereka yang belum berusia 16 tahun dan belum menikah. Ini syarat kumulatif yang harus dipenuhi bila ingin disebut anak.
“Sementara PPRA, definisikan anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun dan tidak membatalkan status anak meski sudah menikah bahkan punya anak pada usia anak,” imbuhnya.
Aktivis Peneliti Kebebasan Pers ini juga menjelaskan, koreksi lain selain dari segi usia juga status anak. Pasal 5 KEJ hanya anak pelaku, sementara PPRA merahasiakan identitas baik anak pelaku, sebagai korban maupun saksi tindak pidana.
Delik Membuka Identitas Anak
“Sejumlah wartawan bertanya kepada saya apa delik hukum membuka identitas anak ? Apakah hanya pelanggaran PPRA atau dapat dipidana,” ujarnya.
Menurut dia, membuka identitas anak yang berhadapan dengan hukum pasca UU SPPA adalah perbuatan pidana namun deliknya aduan.
Itu artinya bila selama ini masih banyak media melanggar Pasal 19 namun belum dikenakan sanksi Pasal 97 UU SPPA karena belum diadukan oleh korbannya.
“Legal standing dari pasal ini adalah anak yang dibuka identitasnya atau orang tua maupun walinya. Jadi legal standing bukan setiap orang tetapi orang yang menjadi korban,” kata mantan Ketua PWI Jaya ini.
Sedangkan lanjutnya, PPRA yang dikeluarkan Dewan Pers legal standing pada setiap orang. Hal ini mengacu pada Pasal 17 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, mengenai peran serta masyarakat.
Namun berbeda dengan UU SPPA, PPRA sanksinya berbentuk teguran atau peringatan kepada media oleh Dewan Pers atas laporan masyarakat karena produk jurnalistik melanggar.
Namun demikian menurut dia, seiring perkembangan zaman dan sosialiasi Hak Anak yang terus diberikan kepada masyarakat baik oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak maupun Pemda, kesadaran menggunakan UU SPPA akan tumbuh.
Media kata dia, harus waspada menghadapi persoalan hukum terkait identitas anak berhadapan dengan hukum, dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
“Apalagi Pasal 19 Jo Pasal 97 UU SPPA bisa mengancam reporter, redaksi dan penanggung jawab secara bersama berdasarkan Pasal 55 KUHP,” pungkasnya.
(amy)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT