“Warga diberikan surat kepemilikan tanah pada tahun 1959 sebagai bukti legalitas oleh pemerintah. Namun pada tahun 1976, karena pemerintah membutuhkan kapur sebagai bahan bangunan saat itu, maka diterbitkan sertifikat HPL (hak pengelolaan lahan) kepada Perusahaan Daerah Swatantra seluas 45 hektar di atas tanah pemukiman warga Dusun Batu Ampar,” katanya, Rabu (14/12).
Nyoman mengatakan, di dalam sertifikat HPL tertulis kalimat lamanya hak berlaku sepanjang tanah yang dimaksud dipergunakan untuk proyek pengapuran.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara de facto kata dia, proyek pengapuran berakhir tahun 1980-an, maka kemudian Bupati Buleleng dan Kepala Kantor Agraria Buleleng bersurat kepada Menteri Dalam Negeri pada tahun 1982, agar tanah yang terbit di atas sertifikat milik warga didistribusikan kepada 55 warga atas nama Raman dan kawan-kawan.
“Atas dasar itulah menteri dalam negeri kemudian memutuskan dan menetapkan pendistribusian tanah tersebut kepada Raman dan kawan-kawan bersama 55 warga untuk dijadikan hak milk karena telah memenuhi syarat,” ujarny.
Dari 55 warga yang diberikan SK Mendagri tahun 1982, baru 4 warga yang diproses penerbitan sertifikatnya yaitu Ketut Salin, Marwiyah, Pan Deresna dan Adna. Sedangkan sisanya berjumlah 51 warga ditolak proses penerbitan sertifikatnya tanpa alasan yang jelas atau diperlakukan secara diskriminatif.
“Lucunya lagi pajak ditagih oleh pemerintah dan masyarakat membayar pajak dari dulu sampai sekarang, tapi kenapa haknya dirampas,” tambahnya
MENGADU KE PRESIDEN JOKOWI
Kendati demikian Nyoman Tirtawan mengatakan akan terus berjuang dan mengadukan permasalahan ini ke Presiden Joko Widodo melalui aksi yang akan di Gelar di depan Istana bersama 51 warga yang memang memiliki Hak atas tanah tersebut, dengan menggunakan bus.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya