iFAKTA.CO, JAKARTA – RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akhirnya disetujui Komisi III DPR RI untuk disahkan menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR RI.
Sejak mulai dibahas pada 2015 lalu, banyak isu krusial dalam RUU ini yang memakan waktu pembahasannya. Dengan segala kehati-hatian dan kajian mendalam, RUU KUHP sampai pula di penghujung pengesahan pada akhir periode keanggotaan 2014-2019.
Rapat kerja yang dipimpin Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsuddin, Rabu (18/9/2019), itu dihadiri Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan tim pakar dari pemerintah. Persetujuan dan pengesahan RUU KUHP ini merupakan capaian fenomenal DPR dan pemerintah untuk mengganti fundamen hukum pidana peninggalan pemerintah Kolonial Belanda yang sudah ratusan tahun berlaku di Tanah Air.
Ketua Panja RUU KUHP Mulfachri Harahap yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR RI menyampaikan laporannya dalam rapat kerja tersebut. Isu-isu penting dan perubahan pasal-pasal dalam KUHP disampaikannya secara terbuka.
“Pembahasan RUU KUHP ini bukan masalah yang mudah karena menjadi bagian dari reformasi KUHP peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan hukum pidana di Indonesia,” ungkap Mulfachri.
Politisi PAN ini melanjutkan, RUU KUHP merupakan upaya rekodifikasi terbuka terhadap seluruh ketentuan pidana yang ada di Indoensia dan menjawab seluruh perkembangan yang ada di masyarakat saat ini. Dan bersama pemerintah, Panja telah berkomitmen memprioritaskan pembahasan RUU KUHP hingga tuntas. Isi dan substansi RUU KUHP sangat fundamental dan memerlukan perhatian khusus, karena menyangkut prinsip dan asas hukum pidana nasional yang berkaitan dengan HAM.
Tim perumus dan tim sinkronisasi bentukan Panja telah melaporkan hasil kerjanya pada 26 Juni 2019 lalu. “RUU KUHP juga mendai berbagai perkembangan hukum di masyarakat dengan sasaran dan tujuan antara lain untuk menjamin kepastian hukum, menciptakan kemanfaatan dan keadilan dalam proses pemidanaan terhadap terpidana. Proses pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia,” tutur Mulfachri dalam laporannya.
Disampaikan legislator dapil Sumut I ini, RUU KUHP yang segera disahkan ini sangat menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dan supremasi hukum di Indoensia. Sementara itu pada bagian lain laporannya, ia menjelaskan isu-isu krusial selama pembahasan RUU ini. Misalnya, kini korporasi dapat menjadi subjek hukum yang bisa dimintai pertanggungjawabannya.
Lalu, pemidanaan tidak harus dengan penjara dan prinsip pemidanaan bukan berarti menderitakan terpidana, tapi dengan pemasyarakatan dan pembinaan. Isu penting lainnya adalah sistem pemidanaan anak dibedakan dengan orang dewasa.
“Hukum positif baik yang tertulis maupun tidak tertulis atau hukum adat yang hidup di masyarakat dapat diterapkan di Indonesia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945,” paparnya lebih lanjut. (dprri/erisman)