JAKARTA – Usai ditetapkan sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pada 2008, keris Indonesia telah mendukung aktivitas perekonomian rakyat.
Dukungan tersebut terlihat pada peningkatan produsen keris Indonesia di masyarakat. Selain itu, terdapat modifikasi metode promosi yang memberikan dampak positif terhadap jangkauan pasar keris Indonesia.
Pernyataan ini mengemuka dalam Forum Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan bertajuk Penelitian Dampak Ekonomi dan Budaya: Pengakuan Keris Indonesia dalam Daftar ICH UNESCO, di kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Rabu (4/9/2019).
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kabalitbang Kemendikbud) Totok Suprayitno menjelaskan bahwa pemaparan mengenai hasil penelitian tentang dampak ekonomi dan budaya pascapendaftaran keris sebagai ICH UNESCO pada Forum Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan sebagai bentuk komitmen untuk mengimplementasi rencana aksi pelestarian warisan budaya yang diinskripsi.
“Pemerintah Indonesia berkewajiban menyampaikan laporan secara berkala terkait pelaksanaan rencana aksi tersebut. Laporan tersebut harus didukung oleh informasi yang bersumber dari hasil penelitian yang dilakukan secara khusus,” ujar Totok saat membuka acara Forum Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan tersebut.
Selanjutnya, ujar Totok, Balitbang Kemendikbud melalui Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjak Dikbud) berkontribusi terhadap dukungan data penelitian untuk penyusunan laporan kepada UNESCO.
“Penelitian tentang keris Indonesia dan Tiga Genre Tari Bali adalah di antara topik penelitian yang melihat dampak inskripsi ini terhadap kehidupan sosial ekonomi komunitas budaya,” jelasnya.
Berdasarkan data Pusat Penelitian dan Kebijakan Kemendikbud, sebanyak sembilan Warisan Budaya Takbenda telah masuk ke dalam daftar Intangible Cultural Heritage UNESCO. Keris Indonesia telah didaftarkan pada tahun 2005, selanjutnya berubah menjadi daftar representatif pada tahun 2008.
Rencana tindak lanjut menjadi bagian pada saat proses pendaftaran Warisan Budaya Takbenda (ICH) UNESCO, dan menjadi acuan bagi negara pendaftar sebagai upaya pelindungan pascapendaftaran. Adapun implementasi rencana tindak menjadi alat ukur keberhasilan negara pengusul guna melakukan upaya pelindungan.
Pendaftaran warisan budaya takbenda merupakan wujud dari pemajuan kebudayaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Selain itu, pendaftaran ini pun sebagai bentuk kontribusi Indonesia di skala internasional yaitu sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi UNESCO 2003: Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage pada tanggal 5 Juli 2007 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007.
Pada sektor ekonomi, pendaftaran keris Indonesia telah memodifikasi jalur transaksi jual-beli keris dari jalur tradisional, yaitu dari penjualan di toko-toko dan pameran-pameran, menjadi penjualan melalui jalur media sosial. Dengan demikian, jangkauan promosi keris pun telah meluas dengan adanya dukungan perkembangan teknologi informasi tersebut.
Saat ini, jangkauan pasar keris meluas mulai dari lingkup dalam negeri, menjadi lingkup internasional, seperti wilayah Asia Tenggara (Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam), Asia Timur, dan Eropa. Pada sisi penjual, ketersediaan keris Indonesia pun mengalami peningkatan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah pengrajin keris. di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur terdapat peningkatan pengrajin keris dari sebanyak 123 pengrajin di tahun 2011 menjadi sebanyak 652 pengprajin di tahun 2018.
Pada sisi lain, pembaruan interpretasi terhadap warisan budaya yang sesuai dengan konteks kekinian menjadi alternatif untuk pelestarian budaya. Interpretasi yang baru itu dapat menghidupkan budaya dari generasi ke generasi, mengikuti perjalanan kebangsaaan Indonesia. “Pemahaman yang baru diperlukan, agar mudah dicerna dan diterima oleh generasi muda kita,” ujar Totok.
Kabalitbang mencontohkan pemahaman terhadap keris di Jawa yang selama ini terbatas sebagai barang pajangan dan souvenir. Disinilah, menurut Totok, para generasi muda perlu memahami filosofi dan maknanya sebagai representasi simbolik budaya Jawa yang mencirikan keindonesiaan. Melalui keris ini, generasi muda akan tahu nilai-nilai luhur budaya Jawa.
Hari Keris Nasional
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Serikat Nasional Pelestari Tosan Aji Nusantara (Senapati Nusantara) Hasto Kristiyanto mengapresiasi upaya pemerintah bersama seluruh komponen bangsa membangkitkan kesadaran generasi muda dan masyarakat untuk mencintai kembali warisan leluhur bangsa Indonesia. Penetapan Hari Keris Nasional menjadi harapan setelah UNESCO menetapkan keris sebagai karya agung warisan budaya dunia.
“Keris dengan segala unsur filosofi didalamnya telah diakui oleh UNESCO sebagai karya agung warisan budaya dunia,” kata Hasto.
Karena itu, bersama Kemendikbud, Senapati Nusantara berharap dan mendukung pemerintah dalam waktu dekat untuk menetapkan 25 November sebagai Hari Keris Nasional.
Pelestarian Genre Tari Bali
Pemberian apresiasi dan lokakarya bagi para seniman tari merupakan kunci untuk melestarikan tiga genre tari tradisional Bali di masyarakat. Sebagai upaya apresiasi, penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali memiliki pengaruh besar secara sosial.
Perhelatan ini memberikan kesempatan bagi para seniman tari untuk mengekspresikan diri melalui tarian tradisional tersebut. Demikian hasil penelitian Tiga Genre Tari Tradisional Bali usai penetapan Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO.
Selain itu, menurut hasil penelitian di lima daerah di Bali, yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Jembrana, dan Kabupaten Buleleng, pemberian pelatihan atau lokakarya kepada para seniman tari pun turut meningkatkan pelestarian jenis tarian ini di kalangan masyarakat.
Ketika pelatihan diberikan, kemahiran para penari akan meningkat yang secara bersamaan dapat meningkatkan prestise sosial ekonomi para penari, dan memperluas jaringan komunikasi yang dimiliki. Jaringan komunikasi ini dapat mendukung peluang aktivitas perekonomian para penari.
Demikian halnya dengan tiga genre tari tradisi Bali. Terdapat sejumlah tarian yang bersifat sakral dan hanya dapat ditampilkan di dalam pura sebagai bagian dari ritual keagamaan.
Karakter religi dari tarian tersebut harus dijaga karena merupakan pembentuk keteraturan sosial yang ada dalam masyarakat Bali. Keterampilan menari dan wawasan kultural mengenai tarian tersebut perlu terus diwariskan kepada generasi muda di Bali.
Tiga Genre Tari Tradisi Bali merupakan salah satu warisan budaya yang didaftarkan sejak tahun 2015. Tiga genre tersebut meliputi Wali, Bebali, dan Bali-balihan. Tari tradisi Bali masih menempati posisi penting di kalangan masyarakat Bali, yaitu sebagai identitas budaya masyarakat Bali.
Apresiasi terhadap jenis tarian ini masih tinggi, berdasarkan survei Biro Pusat Statistik tahun 2018, terlihat dari minat masyarakat untuk menonton pertunjukkan tradisi ini yaitu sebesar 60 persen, dan masih terdapat sebanyak 57 persen masyarakat yang menjadi penari untuk melestarikan tari tradisi Bali. (jpp/amy)