“Padahal mereka sudah mendapatkan informasi serta pendidikan terkait penyakit menular,” imbuhnya.
Sementara itu dalam kesempatan yang sama, Advocacy Specialist Jaringan Indonesia Positif Menurut Timotius Hadi, sejak didirikan pada 2014 hingga saat ini, Jaringan Indonesia Positif (JIP) telah mendapat pelaporan terjadinya bentuk stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang yang hidup dengan HIV di Indonesia.
Menurutnya, beberapa tanggapan telah dilakukan untuk penyelesaian kasus yang ditemukan meliputi, penyediaan kanal pengaduan, layanan konseling, pendampingan kasus bagi korban serta melakukan audiensi kepada stakeholder terkait baik level pemerintah (kementrian atau subdinas) maupun swasta termasuk mitra dari Komnas Perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Selama bulan Mei-Oktober 2023, JIP meneliti indeks stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV di Indonesia dengan menggunakan instrumen penelitian global yang disebut dengan Stigma Index 2.0,” ujarnya .
Timotius mengatakan, instrumen penelitian ini dikembangkan oleh beberapa organisasi tingkat global, seperti Global Network People Living with HIV (GNP+), International Community of Women Living with HIV (ICW), UNAIDS dan International Planned Parenthood Federation (IPPF).
Stigma Index telah digunakan secara global guna mendokumentasikan pengalaman yang berbeda di antara orang dengan HIV terkait stigma dan diskriminasi, sampai dengan mendorong perubahan kebijakan di suatu daerah tertentu serta mengubah intervensi program akibat dari stigma atau diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV.
“Stigma Index di Indonesia tahun 2022 mengumpulkan informasi yang beragam mengenai pengalaman orang dengan HIV di Indonesia yang menghadapi stigma dan diskriminasi,” katanya.
Stigma Index 2.0 yang dilakukan oleh JIP berhasil menyasar 1400 orang yang hidup dengan HIV di 16 provinsi sebagai responden.
Menurut Fitriana Puspitarani, Research Officer, Divisi Riset, Pengembangan Komunitas dan Media JIP, menyampaikan bahwa beberapa temuan pada penelitian ini antara lain, sebesar 35,9% orang yang hidup dengan HIV menstigma dirinya sendiri, dan 13,4% orang yang hidup dengan HIV mendapatkan stigma dari orang lain.
“Stigma dan diskriminasi juga terjadi di layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir (21,5%),” katanya.
Fitriana merinci, stigma dan diskriminasi pada orang yang hidup dengan HIV dari kelompok populasi kunci, lebih tinggi dibandingkan kelompok non populasi kunci, (Stigma eksternal pada kelompok populasi kunci sebesar 17,1% dan non populasi kunci sebesar 11,1%.
Kemudian stigma internal pada kelompok populasi kunci sebesar 39,8% dan non populasi kunci sebesar 33,5%, stigma di layanan HIV pada kelompok populasi kunci sebesar 24,7% dan non populasi kunci sebesar 16,4%, stigma di layanan non HIV pada kelompok populasi kunci sebesar 22,9% dan non populasi kunci sebesar 12,1%).
Hasil temuan awal dari penelitian Stigma Index 2.0 Indonesia telah disampaikan kepada stakeholder terkait, khususnya kepada Kementerian Kesehatan RI.
“Hal tersebut dilakukan dengan harapan bahwa temuan-temuan hasil Stigma Index 2.0 bisa digunakan sebagai acuan dan bahan pertimbangan dalam menyusun program penanggulangan HIV yang lebih humanis, termasuk kampanye anti diskriminasi dan memantau berbagai kegiatan penanggulangan HIV di Indonesia”, ujarnya.
Harapannya, Indonesia tak hanya mengembangkan strategi untuk mencapai nol penularan HIV dan nol kematian akibat AIDS, namun juga mencapai nol diskriminasi terhadap mereka yang hidup dengan HIV.
(rto)
Halaman : 1 2