JAKARTA, Ifakta – Dataran Tinggi Tibet, yang terletak di barat daya China, dikenal sebagai “Atap Dunia” karena merupakan dataran tertinggi di bumi. Dengan ketinggian rata-rata lebih dari 4.500 meter di atas permukaan laut, wilayah ini membentang lebih dari 2,5 juta kilometer persegi, menjadikannya dataran tinggi terbesar dan tertinggi di dunia.

Wilayah ini tidak hanya menjadi simbol keagungan alam, tetapi juga memiliki peran penting secara ekologis dan klimatologis. Dataran Tinggi Tibet berfungsi sebagai “menara air” Asia, karena menjadi sumber dari beberapa sungai terbesar di Asia, termasuk Sungai Yangtze, Mekong, Brahmaputra, dan Sungai Kuning. Sungai-sungai ini menopang kehidupan miliaran orang di berbagai negara seperti China, India, Nepal, Bangladesh, dan Myanmar.

Selain itu, kondisi geografisnya yang ekstrem membentuk bentang alam yang spektakuler. Pegunungan Himalaya, termasuk Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia yang berdiri megah di sepanjang perbatasan selatan dataran ini. Lingkungan yang keras, dengan oksigen tipis dan suhu rendah, menciptakan tantangan besar bagi kehidupan manusia maupun satwa liar, namun tetap ada komunitas-komunitas yang telah beradaptasi selama ribuan tahun.

Dataran Tinggi Tibet juga memainkan peran penting dalam sistem iklim global. Para ilmuwan menyebutnya sebagai “pengatur suhu bumi”, karena ketinggiannya memengaruhi pola angin, curah hujan, dan musim di seluruh Asia, bahkan dunia.

Namun, kawasan ini juga menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim. Pencairan gletser yang lebih cepat dari perkiraan mengancam keberlanjutan sumber daya air dan ekosistem di wilayah ini dan sekitarnya.

Sebagai bagian integral dari wilayah China, dataran tertinggi ini tidak hanya menjadi warisan alam dunia, tetapi juga pusat budaya dan spiritual bagi masyarakat Tibet, dengan kekayaan tradisi, agama, dan sejarah yang terus hidup di tengah tantangan modern.

(FA)