IFAKTA – Belakangan ini, wacana mengenai pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mulai mencuat ke permukaan. Beberapa pihak menyuarakan ketidakpuasan atas proses pencalonan Gibran dalam Pilpres 2024, yang dinilai sarat pelanggaran etik dan manipulasi hukum. Namun, penting untuk memahami bahwa dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia, presiden dan wakil presiden adalah satu paket kepemimpinan yang tak dapat dipisahkan dengan mudah.
Pasal 6A UUD 1945 menegaskan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu paket melalui pemilu langsung. Artinya, rakyat memilih pasangan calon, bukan individu. Hal ini menegaskan bahwa dalam menjalankan masa jabatan, presiden dan wakil presiden merupakan satu kesatuan pemerintahan. Maka, gagasan pemakzulan terhadap salah satu pihak, tanpa melibatkan pasangannya, menimbulkan persoalan konstitusional.
Pemakzulan, atau dalam istilah konstitusional disebut impeachment, diatur secara ketat dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Untuk menjatuhkan pemakzulan terhadap presiden maupun wakil presiden, dibutuhkan bukti pelanggaran hukum berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Selain itu, prosesnya harus melalui DPR, Mahkamah Konstitusi, dan akhirnya diputus dalam Sidang MPR.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Hingga saat ini, belum ada bukti konkret bahwa Gibran melakukan pelanggaran berat yang masuk dalam kategori pasal 7A tersebut. Bahkan, apabila ada pelanggaran etik yang terjadi dalam proses pencalonannya, hal itu lebih tepat ditujukan kepada lembaga-lembaga yang mengesahkan pencalonannya, bukan secara langsung menjadi dasar pemakzulan.
Tentu, tidak bisa dipungkiri bahwa usulan pemakzulan Gibran memiliki nuansa politis yang kental. Sebagian kelompok merasa dikhianati oleh proses politik yang dianggap tidak adil, terutama setelah Mahkamah Konstitusi mengubah batas usia capres-cawapres dengan putusan kontroversial. Namun, rasa ketidakadilan tidak serta merta bisa dijadikan dasar pemakzulan dalam sistem hukum dan tata negara.
Kita harus membedakan antara perasaan ketidakpuasan politik dan landasan konstitusional. Negara hukum menghendaki bahwa setiap tindakan, termasuk pemakzulan, harus berdasarkan hukum, bukan semata opini publik atau tekanan politik.
Usulan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, tanpa melibatkan Presiden Prabowo Subianto, tidak sesuai dengan semangat sistem presidensial Indonesia. Presiden dan wakil presiden adalah satu paket yang dipilih rakyat dan harus diperlakukan sebagai satu kesatuan, baik dalam pelaksanaan tugas maupun pertanggungjawabannya. Jika ada keberatan terhadap legitimasi pasangan ini, maka ruangnya adalah di ranah hukum dan pemilu, bukan melalui langkah-langkah konstitusional yang dipaksakan tanpa dasar yang kuat.
(Jo)