JAKARTA, ifakta.co – Majalah bulanan IFAKTA edisi Mei 2025 telah terbit. Sejumlah berita menarik untuk dibaca khususnya katagori Laporan Utama yang membahas soal bayang-bayang ‘matahari kembar’.
Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto ibarat fenomena langka “matahari kembar”—menakjubkan, penuh daya, namun juga mengundang pertanyaan tentang harmoni dan keseimbangan. Dalam konteks perpolitikan Indonesia pasca-Pilpres 2024, metafora ini mencerminkan dinamika kekuasaan antara presiden terpilih dan presiden sebelumnya, Joko Widodo, yang masih memiliki pengaruh kuat melalui jaringan politik maupun kehadiran keluarganya di pemerintahan.
Prabowo, dengan latar belakang militer dan gaya kepemimpinan yang tegas, membawa energi baru yang kontras namun juga melengkapi warisan kepemimpinan Jokowi. Seperti dua matahari yang bersinar di langit yang sama, keduanya memancarkan pengaruh—satu dengan karisma populis dan pendekatan pembangunan yang membumi, yang lain dengan nasionalisme strategis dan visi pertahanan yang kuat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, seperti dalam fenomena matahari kembar di alam, terlalu banyak cahaya bisa menimbulkan silau yang membingungkan arah. Tantangan terbesar bagi Prabowo adalah membuktikan bahwa ia bukan hanya bayangan dari presiden sebelumnya, tetapi pemimpin dengan arah, suara, dan karakter sendiri. Ia perlu menegaskan identitas pemerintahannya agar sinarnya tidak redup di bawah sorotan warisan Jokowi.
Jika mampu mengelola sinergi dan perbedaan ini, Prabowo dapat menciptakan sebuah era pemerintahan yang lebih terang dan stabil. Namun bila tidak, langit politik Indonesia bisa menjadi terlalu panas, penuh konflik arah dan identitas.
Dalam perpolitikan modern Indonesia, transisi kekuasaan dari satu presiden ke presiden berikutnya sering kali mencerminkan perubahan besar dalam arah kebijakan dan pendekatan kepemimpinan.
Namun, kemenangan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 menghadirkan anomali politik yang menarik-yaitu munculnya dua figur kuat yang secara de facto berbagi pengaruh besar di panggung nasional: Presiden Prabowo sendiri dan pendahulunya, Joko Widodo. Fenomena ini bisa diibaratkan seperti “matahari kembar” di langit republik-dua pusat gravitasi yang memancarkan cahaya kuat dan berpotensi menimbulkan tarik-menarik pengaruh yang kompleks.
Joko Widodo bukanlah presiden biasa yang telah selesai masa baktinya. Ia adalah pemimpin dengan rekam jejak delapan tahun kepemimpinan yang populer, ditopang oleh jaringan loyalis yang masih aktif, termasuk melalui peran anaknya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai Wakil Presiden Prabowo. Kehadiran Gibran di posisi puncak tidak hanya simbolik-ia menjadi semacam “proxy politik” yang memastikan pengaruh Jokowi tetap hidup di istana.
Pada akhirnya, kepemimpinan “matahari kembar” ini adalah ujian: apakah Indonesia mampu memanfaatkan dua sumber cahaya untuk pertumbuhan dan kemajuan, atau justru terjebak dalam bayang-bayang persaingan dua pusat kekuasaan?
Untuk mendapatkan majalah IFAKTA silahkan hubungi: 0812 9167 5227
(my/my)