JAKARTA, IFAKTA.CO- Perjalanan Indonesia menuju ‘Ending AIDS 2030’ sesuai dengan komitmen pemerintah dalam penanggulangan HIV, ternyata masih menemukan berbagai tantangan dan hambatan. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI dr. Imran Pambudi, MPH menyampaikan bahwa saat ini kelompok berusia 25-49 tahun memiliki porsi terbesar sebanyak 70,4% dalam temuan kasus HIV. Angka ini kemudian diikuti oleh kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 15,9%. Hal tersebut disampaikan melalui zoom meeting yang diadakan oleh Jaringan Indonesia Positif bersama awak media yang berada di 5 wilayah DKI Jakarta, Rabu ( 27/3/24).
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI dr. Imran Pambudi, MPH menyampaikan bahwa saat ini kelompok berusia 25-49 tahun memiliki porsi terbesar sebanyak 70,4% dalam temuan kasus HIV. Angka ini kemudian diikuti oleh kelompok usia 20-24 tahun sebanyak 15,9% . Meski demikian, semakin menurunnya angka temuan kasus HIV baru pada beberapa tahun terakhir, menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia mungkin mencapai target. Berbagai upaya untuk menyamakan persepsi dan tujuan telah dilakukan termasuk melibatkan peran berbagai sektor pemerintah. Namun, kerap ditemukan pemahaman atau “perspektif miring” yang keliru dari stakeholder di luar area kesehatan tentang HIV.
“Hal ini disinyalir terjadi karena program penanggulangan HIV selama ini hanya menyasar pada pengguna narkotika, pekerja seks, Lelaki Seks Lelaki, Waria dan kelompok lainnya yang masih dianggap amoral bagi sebagian masyarakat,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam sebuah survei yang melibatkan Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia dari 10 responden yang diwawancarai, 4 diantaranya
mengaku masih takut untuk bergaul dengan orang yang hidup dengan HIV karena alasan takut tertular. Padahal mereka sudah mendapatkan informasi serta pendidikan
terkait penyakit menular.
Sejak didirikan pada 2014 hingga saat ini, Jaringan Indonesia Positif (JIP) telah mendapat pelaporan terjadinya bentuk stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang yang hidup dengan HIV di Indonesia.
Menurut Timotius Hadi, selaku Advocacy Specialist Jaringan Indonesia Positif, beberapa tanggapan telah dilakukan untuk
penyelesaian kasus yang ditemukan meliputi: penyediaan kanal pengaduan, layanan konseling, pendampingan kasus bagi korban serta melakukan audiensi kepada
stakeholder terkait baik level pemerintah (kementrian atau subdinas) maupun swasta
termasuk mitra dari Komnas Perempuan.
Selama bulan Mei-Oktober 2023, JIP meneliti indeks stigma dan diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV di Indonesia dengan menggunakan instrumen penelitian global yang disebut dengan ‘Stigma Index 2.0’. Instrumen penelitian ini dikembangkan oleh beberapa organisasi tingkat global, seperti Global Network People Living with HIV (GNP+), International Community of Women Living with HIV (ICW), UNAIDS dan International Planned Parenthood Federation (IPPF).
“Stigma Index telah digunakan secara global guna mendokumentasikan pengalaman yang berbeda di antara orang dengan HIV terkait stigma dan diskriminasi, sampai dengan mendorong perubahan kebijakan di suatu daerah tertentu serta mengubah intervensi program akibat dari stigma atau diskriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV,” katanya.
Stigma Index di Indonesia tahun 2022 mengumpulkan informasi yang beragam mengenai pengalaman orang dengan HIV di Indonesia yang menghadapi stigma dan diskriminasi.
Stigma Index 2.0 yang dilakukan oleh JIP berhasil menyasar 1400 orang yang hidup
dengan HIV di 16 provinsi sebagai responden. Menurut Fitriana Puspitarani, Research
Officer, Divisi Riset, Pengembangan Komunitas dan Media JIP, menyampaikan bahwa beberapa temuan pada penelitian ini antara lain: sebesar 35,9% orang yang hidup
dengan HIV menstigma dirinya sendiri, dan 13,4% orang yang hidup dengan HIV
mendapatkan stigma dari orang lain.
“Stigma dan diskriminasi juga terjadi di layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir (21,5%). Stigma dan
diskriminasi pada orang yang hidup dengan HIV dari kelompok populasi kunci, lebih
tinggi dibandingkan kelompok non populasi kunci,” ujarnya.
Hasil temuan awal dari penelitian Stigma Index 2.0 Indonesia telah disampaikan kepada stakeholder terkait, khususnya kepada Kementerian Kesehatan RI.
“Hal tersebut dilakukan dengan harapan bahwa temuan-temuan hasil Stigma Index 2.0 bisa digunakan sebagai acuan dan bahan pertimbangan dalam menyusun program
penanggulangan HIV yang lebih humanis, termasuk kampanye anti diskriminasi dan
memantau berbagai kegiatan penanggulangan HIV di Indonesia”, tambah Hadi.
Harapannya, Indonesia tak hanya mengembangkan strategi untuk mencapai nol penularan HIV dan nol kematian akibat AIDS, namun juga mencapai nol diskriminasi terhadap mereka yang hidup dengan HIV.