JAKARTA, IFAKTA.CO – Setelah PN Jakarta Selatan mengabulkan pencatatan perkawinan seorang beragama Katolik dan istrinya beragama Protestan. Mahkamah Agung (MA) secara resmi mengeluarkan surat edaran yang melarang pengadilan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
Menurut UUD RI, setiap warga negara berhak menjalankan agama dan kepercayaannya. Pada titik ini agama dilabelkan sebagai hak warga negara (bukan kewajiban).
Sementara itu menurut UU Perkawinan RI, perkawinan didefinisikan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Masih menurut UU yang sama, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Point dari sahnya perkawinan adalah dilakukan menurut hukum masing-masing agama, bukan semua agama.
Dalam kasus warga Indonesia yang beragama Katolik tunduk pada 2 hukum sekaligus yaitu Canon Roma dan UU Perkawinan Indonesia.
Canon Roma membolehkan, umat Katolik seluruh dunia untuk menikah secara beda agama yang dikenal dengan sebutan dispensi perkawinan.
Jika Mahkamah Agung RI menolak pencatatan perkawinan warga Katolik Indonesia maka solusinya adalah mohonkan kepada kedutaan Vatican di Jakarta mencatat perkawinan mereka.
Menurut hukum Roma sebab hukum Indonesia tidak mengakui atau menolak untuk mencatatkan perkawinannya.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Sobandi membenarkan hal tersebut. Keputusan ini juga telah tertuang dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat dan Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Hal ini bertujuan memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum antar-umat berbeda agama.
“Melalui SEMA ini juga para hakim diminta untuk berpedoman pada ketentuan yang berlaku,” ujarnya.