JAKARTA, ifakta.co  – Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menilai pernyataan Presiden RI terkait penanganan bencana di Aceh tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Menurutnya, pemerintah pusat tidak berada langsung di wilayah terdampak setiap hari, berbeda dengan pemerintah daerah yang menghadapi situasi darurat secara langsung.

Usman menyinggung langkah Gubernur Aceh yang beberapa waktu lalu mengirimkan surat kepada dua lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meminta dukungan internasional dalam penanganan bencana. 

Dalam surat tersebut, Pemerintah Aceh menjelaskan bahwa bantuan dibutuhkan guna mempercepat pemulihan, memastikan keberlanjutan rehabilitasi sosial ekonomi masyarakat terdampak, serta pembangunan kembali infrastruktur dan penguatan kapasitas daerah dalam menghadapi risiko bencana ke depan.

Iklan

“Ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan. Presiden menyatakan bantuan internasional tidak diperlukan, sementara gubernur justru menyatakan sebaliknya dan secara terbuka meminta dukungan dari luar negeri,” kata Usman dalam keterangannya.

Ia menambahkan, sikap pemerintah pusat tersebut dinilai tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat di daerah terdampak. Bahkan, dalam forum musyawarah ulama di Aceh, para tokoh agama bersama masyarakat menyerukan agar bencana yang melanda wilayah Sumatra ditetapkan sebagai bencana nasional.

Menurut Usman, pernyataan Presiden bukan hanya berjarak dari kondisi lapangan, tetapi juga dapat mencerminkan sikap tertutup Indonesia di mata internasional. Ia menyoroti janji Presiden yang menyebut pembangunan jembatan dapat diselesaikan dalam waktu satu pekan, sementara hingga tiga pekan pascabencana, proses pemulihan masih menghadapi banyak kendala.

“Pernyataan seperti itu lebih terdengar membesarkan hati, namun tidak realistis. Membangun jembatan di seluruh wilayah terdampak dalam satu minggu jelas mustahil,” ujarnya.

Usman kembali menegaskan pentingnya penetapan status bencana nasional, mengingat besarnya jumlah korban, kerusakan infrastruktur, serta kerugian harta benda di sedikitnya tiga provinsi terdampak.

Ia juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa penolakan terhadap bantuan internasional berkaitan dengan upaya menutup akses pengawasan global, termasuk sorotan media internasional, terhadap kepentingan ekonomi di balik kerusakan lingkungan di Aceh.

“Kami khawatir ada kepentingan bisnis dan oligarki yang ingin dilindungi. Jika ribuan alat berat bisa dikerahkan untuk kepentingan ekonomi, seharusnya hal yang sama bisa dilakukan secara transparan untuk penyelamatan warga,” pungkas Usman.

(Amin)