JAKARTA, Ifakta.co | World Trade Organization (WTO) memperingatkan bahwa eskalasi perang dagang antara United States dan China dapat menyebabkan penurunan produk domestik bruto (PDB) global hingga 7%, dan menyerukan de-eskalasi segera. 

Sementara itu, International Monetary Fund (IMF) memperingatkan bahwa ketegangan ini telah menjadi bagian dari “normal baru” yang menimbulkan risiko besar terhadap stabilitas ekonomi internasional. 

WTO Director-General Ngozi Okonjo Iweala menyatakan “jika AS dan China terus berseteru termasuk soal ekspor rare-earth dan sanksi tarif maka banyak negara berkembang yang akan menanggung beban paling besar.”

Iklan

IMF memperkirakan pertumbuhan dunia tahun 2025 berada pada kisaran 3,2%, tetapi menambahkan bahwa proyeksi ini belum sepenuhnya memperhitungkan dampak dari peningkatan tarif dan kontrol ekspor.  

Pasar global menunjukkan reaksi harga emas melonjak sebagai safe-haven di tengah kekhawatiran pertumbuhan global melambat.  

Di sisi diplomasi, AS mengirim sinyal bahwa jika China memberlakukan kontrol ekspor bahan penting (rare-earth) maka “pemutusan rantai pasokan global” (decoupling) bisa terjadi.  

Sebagai negara berkembang, Indonesia bisa merasakan dampak sekunder dari pelambatan ekspor global atau perubahan supply-chain akibat perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.

Kenaikan harga komoditas, terganggunya rantai pasokan elektronik dan mineral, serta volatilitas pasar keuangan bisa mempengaruhi perekonomian Indonesia secara langsung.

Dari sisi geopolitik, peningkatan ketegangan AS-China bisa memaksa ASEAN dan negara-lain untuk memilih “sisi”, atau setidaknya melakukan penyesuaian kebijakan luar negeri dan ekonomi.

Ketidakpastian kebijakan, Tarif mendadak, kontrol ekspor, atau sanksi dapat muncul tanpa pemberitahuan panjang ini menyulitkan perusahaan untuk merencanakan.

Dampak terhadap rantai pasokan teknologi dan elektronik China memainkan peran besar dalam produksi komponen, dan kontrol ekspor rare-earth bisa menyebabkan kelangkaan bahan baku penting untuk semikonduktor, baterai, dan teknologi.

Ekonomi global yang tumbuh lambat membuat ruang manuver kebijakan (moneter & fiskal) semakin terbatas ketika sudah melambat, krisis baru akan lebih sulit ditangani.

Negara-menengah dan berkembang bisa menjadi korban “kerusakan kolateral” saat dua kekuatan besar saling bertarung. misalnya, ekspor komoditas menurun, investasi asing tertahan, pasar keuangan volatile.

Jika AS dan China memilih jalan dialog dan perdagangan kembali normal, banyak peluang terbuka: pasokan teknologi stabil, investasi kembali mengalir, dan negara seperti Indonesia bisa masuk sebagai alternatif rantai pasokan.

Negara-ketiga (seperti Indonesia) dapat menjadi “zona netral” yang menarik bagi perusahaan global yang mencari opsi selain AS atau China untuk manufactur dan logistik.

Reformasi organisasi global seperti WTO bisa memperkuat sistem perdagangan multilateral dan memberi negara berkembang lebih banyak ruang kebijakan.

Ketegangan antara AS dan China bukan hanya soal dua negara besar ini soal stabilitas ekonomi dan perdagangan dunia. Jika konflik dagang ini terus menguat, bukan hanya PDB negara-besar yang terancam, tapi seluruh ekonomi global bisa mengalami shock yang berat. WTO dan IMF menegaskan bahwa jalan terbaik adalah dialog dan kerja sama multilateral. Namun, bila jalan itu tertutup, dunia bisa menghadapi periode pertumbuhan yang sangat lambat dan dampaknya akan terasa di mana-mana, termasuk di Indonesia.(FA)