JAKARTA, Ifakta.co | Sejumlah tokoh Islam, akademisi, dan organisasi masyarakat menyoroti tayangan salah satu program berita di Trans TV yang dinilai menyudutkan lembaga pesantren dan mengandung unsur provokasi serta ujaran kebencian terhadap pendidikan Islam.
Dalam segmen berita tersebut, pesantren digambarkan sebagai “tempat penanaman ideologi tertutup” dan “lingkungan rawan doktrin keras”. Narasi tersebut dinilai tidak berimbang dan merusak citra lembaga pendidikan Islam yang telah menjadi bagian penting dari sejarah bangsa.
Iklan
Ketua Umum Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU, KH. Ahmad Zuhri, menegaskan bahwa pesantren justru berperan besar dalam mencetak generasi berakhlak dan cinta tanah air.
“Pesantren adalah benteng moral bangsa. Menyudutkan pesantren sama saja dengan melecehkan sejarah dan perjuangan umat Islam dalam membangun negeri ini,” ujarnya.
Hal senada disampaikan oleh KH. Said Aqil Siradj, tokoh Nahdlatul Ulama sekaligus mantan Ketua Umum PBNU, yang menilai pemberitaan Trans TV menunjukkan rendahnya literasi keislaman di media nasional.
“Pesantren itu pusat ilmu dan peradaban. Dari pesantren lahir ulama, cendekiawan, dan pemimpin bangsa. Jangan sampai media menjadi alat yang memecah belah bangsa,” tegas KH. Said Aqil.
Sementara itu, Habib Luthfi bin Yahya, anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI, mengingatkan bahwa media memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga harmoni sosial.
“Narasi yang salah tentang agama dapat menimbulkan perpecahan. Media harus menjadi perekat bangsa, bukan sumber provokasi,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Menanggapi polemik ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan tengah melakukan penelaahan terhadap konten siaran Trans TV tersebut.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan sanksi penghentian sementara pada program siaran Xpose Uncensored yang ditayangkan oleh Trans 7. KPI menilai telah terjadi pelanggaran atas Pasal 6 Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), serta Pasal 6 ayat 1 dan 2, Pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 huruf (a) Peraturan KPI Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran (SPS).
Pada ketentuan di P3 menyebutkan lembaga penyiaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan yang mencakup keberagaman budaya, usia, gender, dan/ atau kehidupan sosial ekonomi. Sedangkan pada ketentuan pada SPS menyebutkan program siaran dilarang melecehkan, menghina, dan/ atau merendahkan lembaga pendidikan. Adapun secara khusus pada pasal 16 ayat 2 huruf (a) memuat ketentuan penggambaran tentang lembaga pendidikan harus mengikuti ketentuan tidak memperolok pendidik/ pengajar.
Hal tersebut di sampaikan Ketua KPI Pusat Ubaidillah, usai Rapat Pleno Penjatuhan Sanksi yang digelar KPI Pusat malam ini, (14/10).
Di media sosial, masyarakat bereaksi keras dengan menjadikan tagar #TransTVHinaPesantren dan #BoikotTransTV sebagai trending topik nasional. Publik menuntut permintaan maaf terbuka dan langkah korektif dari manajemen Trans TV.
Pakar komunikasi publik Universitas Indonesia, Dr. Laili Nurbaya, menilai kasus ini sebagai peringatan keras bagi industri media agar lebih sensitif terhadap isu keagamaan.
“Jurnalisme bukan sekadar informasi, tetapi tanggung jawab moral. Pemberitaan soal pesantren harus ditempatkan secara proporsional, menghormati nilai budaya dan agama,” tuturnya.
Hingga rilis ini diterbitkan, Trans TV belum memberikan klarifikasi resmi atas pemberitaan tersebut. Publik berharap ada langkah konkret berupa permintaan maaf, koreksi siaran, serta evaluasi redaksional agar kepercayaan masyarakat terhadap media nasional dapat dipulihkan. (FA)



