JAKARTA, Ifakta.co | Di balik layar ponsel yang menyala setiap detik, sebuah perang senyap tengah berlangsung. Bukan perang senjata atau rudal, melainkan perang penguasaan pikiran di mana generasi muda menjadi target utama.
Para peneliti dan pengamat sosial kini menyoroti keterlibatan kelompok elit dunia yang diduga memainkan peran besar dalam membentuk pola pikir masyarakat modern melalui propaganda digital, budaya konsumtif, dan eksploitasi seksual terselubung.

Strategi Global yang Tak Kasat Mata
Iklan
Dalam dua dekade terakhir, perkembangan teknologi informasi membawa perubahan besar terhadap perilaku sosial dunia. Namun di balik kemajuan itu, muncul pola mencurigakan: konten vulgar, hiburan dangkal, dan situs-situs porno yang makin mudah diakses bahkan oleh anak berusia 10 tahun.
“Ini bukan kebetulan. Ada sistem yang dirancang untuk melemahkan karakter generasi muda,” ujar Dr. Hendra Wijaya, sosiolog digital dari Universitas Indonesia.
Ia menjelaskan, propaganda global kini tak lagi berbentuk poster politik atau pidato publik, melainkan melalui arus algoritma yang mengatur apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan masyarakat setiap hari.
“Ketika Anda mengontrol apa yang mereka lihat di layar, Anda mengontrol cara mereka berpikir,” tegasnya.
Situs Porno : Senjata Psikologis Baru
Salah satu fenomena paling berbahaya dalam perang modern ini adalah normalisasi pornografi. Situs-situs porno raksasa yang bermarkas di luar negeri kini menjadi pusat bisnis miliaran dolar. Namun di balik itu, banyak analis percaya bahwa industri ini tak hanya mencari keuntungan finansial, melainkan juga menjalankan fungsi sosial-politik yang lebih dalam.
“Pornografi adalah bentuk propaganda yang halus. Ia mengikis nilai, melemahkan kontrol diri, dan mengalihkan fokus generasi muda dari hal-hal produktif ke hal-hal instingtif,” kata Dewi Arum, psikolog dan peneliti perilaku digital di Bandung.
Menurut data International Digital Health Institute (2024), lebih dari 75% remaja di dunia terpapar konten pornografi sebelum usia 18 tahun. Sebagian besar mengalami efek psikologis jangka panjang mulai dari kecanduan, disfungsi emosional, hingga penurunan empati sosial.
“Ini seperti candu yang disamarkan menjadi kebebasan,” tambah Dewi.
Agenda Kapitalisme Gaya Baru
Bagi para elit ekonomi global, kontrol terhadap perilaku manusia berarti kontrol terhadap pasar. Budaya hedonistik yang ditumbuhkan melalui media digital membuat generasi muda lebih mudah diarahkan menjadi konsumen impulsif membeli apa pun yang sedang viral, tanpa berpikir panjang.
Dalam konteks ini, pornografi berfungsi sebagai bagian dari ekosistem kapitalisme digital yang lebih besar. Ketika atensi menjadi komoditas, situs porno menjadi magnet perhatian paling efektif.
Setiap klik, setiap tontonan, adalah data dan data adalah kekuasaan.
“Inilah bentuk penjajahan modern. Mereka tak lagi datang membawa senjata, tapi membawa algoritma,” ujar Prof. Yusran Noor, pakar geopolitik Universitas Padjadjaran.
Generasi yang Terlupakan
Efeknya kini mulai terlihat. Kecanduan layar, penurunan konsentrasi belajar, depresi, hingga krisis identitas menjadi masalah nyata. Banyak remaja kehilangan arah hidup, menjauh dari aktivitas sosial, dan mencari pelarian instan melalui dunia maya.
Ironisnya, di tengah kekacauan ini, suara perlawanan seringkali tenggelam. Pemerintah banyak negara masih gagap dalam menangani dampak psikologis dan moral akibat paparan digital ekstrem.
Melawan dengan Kesadaran
Meski begitu, harapan belum padam. Komunitas independen seperti Youth Reclaim, MindGuard, dan #DigitalAwake kini bermunculan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka bergerak di bawah slogan: “Kuasai dirimu sebelum dunia menguasaimu.”
Gerakan ini mengajarkan literasi digital dan detoks pornografi, serta membantu generasi muda memulihkan jati diri dari adiksi layar dan propaganda budaya global.
“Perlawanan dimulai dari kesadaran,” ujar pendiri Youth Reclaim, Rafi Alamsyah, “karena musuh terbesar hari ini bukan lagi yang datang menyerang dari luar, tapi yang kita biarkan masuk lewat genggaman tangan kita sendiri.”
Perang generasi bukan lagi tentang ideologi atau wilayah, tetapi tentang siapa yang mengendalikan kesadaran manusia.
Di era algoritma, kebebasan sejati bukan berarti bebas dari batas, melainkan mampu memilih apa yang layak dipercaya, ditonton, dan ditiru.(FA)