JAKARTA, ifakta.co – Kembalinya orang Yahudi ke Israel, atau yang dikenal sebagai Aliyah, adalah fenomena sejarah, agama, dan politik yang memiliki akar sangat dalam. Proses ini bukan hanya soal perpindahan fisik, tetapi juga berkaitan dengan identitas, keyakinan, dan sejarah panjang diaspora Yahudi.

Selama ribuan tahun, orang Yahudi hidup dalam diaspora setelah pengusiran besar-besaran dari wilayah Yudea oleh Kekaisaran Romawi pada abad ke-1 Masehi. Meski tersebar di berbagai penjuru dunia, keinginan untuk kembali ke tanah leluhur selalu menjadi bagian penting dalam doa dan ritual keagamaan mereka.

Doa harian, upacara Paskah Yahudi (Pesach), hingga penutupan ibadah Yom Kippur selalu diakhiri dengan kalimat, “L’Shana Haba’ah B’Yerushalayim” yang berarti “Tahun depan di Yerusalem”. Ini mencerminkan harapan kolektif untuk kembali ke tanah suci mereka.

Iklan

Pada akhir abad ke-19, muncul gerakan Zionisme, dipelopori oleh Theodor Herzl, yang bertujuan mendirikan negara Yahudi di Palestina. Gerakan ini muncul sebagai respons atas meningkatnya antisemitisme di Eropa dan Rusia, termasuk pogrom (kerusuhan anti-Yahudi) yang membuat kehidupan komunitas Yahudi semakin terancam.

Zionisme tidak hanya berbicara soal keselamatan fisik, tetapi juga pemulihan budaya, bahasa, dan identitas Yahudi di tanah leluhur mereka.

Tragedi Holocaust pada Perang Dunia II, di mana sekitar enam juta orang Yahudi dibunuh oleh rezim Nazi, menjadi faktor pemicu besar bagi percepatan migrasi Yahudi ke wilayah Palestina. Holocaust menjadi bukti betapa rentannya komunitas Yahudi tanpa negara yang melindungi mereka.

Setelah perang, banyak penyintas Holocaust yang tidak memiliki rumah atau negara kembali, akhirnya memilih untuk berimigrasi ke tanah yang kemudian menjadi Israel.

Dengan berdirinya negara Israel pada 14 Mei 1948, pintu resmi terbuka bagi orang Yahudi dari seluruh dunia untuk kembali. Hukum “Law of Return” yang diberlakukan pada 1950 memberikan hak otomatis bagi setiap orang Yahudi untuk menjadi warga negara Israel.

Di berbagai negara, komunitas Yahudi masih menghadapi diskriminasi, penindasan, dan kebangkitan antisemitisme. Israel menawarkan tempat yang aman dan komunitas mayoritas bagi mereka, dengan jaminan perlindungan sebagai warga negara.

Bagi banyak orang Yahudi, tinggal di Israel adalah cara untuk terhubung kembali dengan akar budaya, bahasa (Ibrani), dan spiritualitas mereka. Hidup di tanah yang memiliki makna sejarah dan religius sangat dalam, memberikan rasa pemenuhan identitas yang tidak bisa didapatkan di negara lain.

Kembalinya orang Yahudi ke Israel adalah perpaduan antara panggilan sejarah, keyakinan religius, trauma masa lalu, dan kebutuhan akan tempat yang aman dan bermartabat. Proses ini tidak hanya membentuk kembali peta politik dunia, tetapi juga menjadi salah satu cerita paling monumental tentang ketahanan, identitas, dan perjuangan suatu bangsa untuk kembali ke tanah leluhurnya.

(Sb-Alex)