JAKARTA,.-ifakta,.— Dunia virtual immersive ala Metaverse, yang sempat digadang sebagai “masa depan internet”, kini menghadapi kenyataan pahit. Setelah mengucurkan dana besar selama bertahun-tahun, Meta mengambil langkah mundur serta merestrukturisasi proyek ambisiusnya.
Pada 2021, Meta — sebelumnya dikenal sebagai Facebook — mengganti nama sebagai sinyal komitmen perusahaan terhadap visi dunia maya 3D. Transformasi ini bukan sekadar rebranding, melainkan deklarasi bahwa Meta kini berorientasi pada realitas virtual/augmentasi (VR/AR), interaksi sosial lewat avatar, serta ekosistem digital baru.
Untuk mengeksekusi visi itu, dibentuk divisi khusus bernama Reality Labs — yang bertugas merancang hardware (headset, kacamata AR/VR), software, serta platform dunia virtual seperti Horizon Worlds.
Iklan
Visi besar tersebut sempat menuai sorotan global: Metaverse diproyeksikan sebagai “internet generasi berikutnya”, tempat orang bisa bersosialisasi, bekerja, dan berkreasi dalam ruang maya.
Laporan terkini menyebut bahwa sejak 2020, Meta telah mengucurkan dana lebih dari US$ 60 miliar untuk inisiatif Metaverse dan Reality Labs.
Namun hasilnya jauh dari harapan. Sejak 2021, Reality Labs sudah tercatat mengalami kerugian kumulatif lebih dari US$ 70 miliar.
Beban finansial ini, disertai adopsi publik dan ekosistem yang gagal tumbuh secara signifikan, membuat proyek yang dulu dipandang sebagai revolusi digital berubah menjadi “lubang hitam” bagi perusahaan.
Realita di Lapangan: Kenapa Metaverse Gagal Memikat Publik
Beberapa faktor kunci di balik kelesuan proyek Metaverse Meta: Adopsi pengguna rendah. Teknologi VR/AR masih dianggap niche; perangkat seperti headset atau kacamata masih mahal dan aksesnya terbatas membuatnya sulit menarik pengguna massa, Ekosistem & konten belum memadai. Platform dunia maya seperti Horizon Worlds gagal mendapatkan basis pengguna aktif besar, interaksi sosial intens, dan konten massal sehingga sulit berkembang.
Return on Investment (ROI) kecil dibanding biaya besar. Biaya riset, pengembangan hardware & software, operasional — tetapi imbal balik dari sisi pendapatan maupun pengguna terlalu tipis. Perubahan lanskap teknologi global. Teknologi lain seperti kecerdasan buatan (AI) dan perangkat pintar (smart glasses, wearables) kini lebih menarik perhatian industri membuat hype Metaverse memudar.
Sebagai respons dari beban dan hasil yang mengecewakan, Meta memutuskan melakukan restrukturisasi besar: perusahaan berencana memangkas anggaran proyek Metaverse hingga 30 persen untuk anggaran 2026.
Pemangkasan ini diperkirakan akan mempengaruhi unit VR seperti headset, platform virtual, bahkan termasuk potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi sebagian tim yang terkait.
Sebagai gantinya, sebagian investasi akan dialihkan ke pengembangan perangkat keras berbasis kecerdasan buatan dan wearable (kacamata pintar, smart glasses), mengikuti tren dan momentum baru di industri teknologi, Investor menyambut langkah ini positif: harga saham Meta sempat melonjak setelah kabar pemangkasan, mencerminkan kelegaan pasar terhadap tindakan efisiensi dan realokasi fokus perusahaan.
Kasus Meta dan Metaverse memberi pelajaran penting bagi dunia teknologi dan publik:
Visi besar dan dana melimpah tidak menjamin sebuah proyek berhasil — adopsi pengguna dan relevansi nyata tetap jadi kunci.
Teknologi canggih perlu didukung oleh ekosistem dan konten yang matang, agar bisa menarik pengguna massa — tidak cukup hanya jadi “mainan” untuk segelintir penggemar.
Ketika tren global berubah, fleksibilitas strategi termasuk keberanian mengubah arah bisa menjadi penyelamat perusahaan besar.
Sebagai konsumen: selalu bijak memandang hype futuristik pertimbangkan apakah teknologi memberi manfaat nyata, bukan sekadar janji masa depan.
