Jakarta, ifakta.co – Pengecer di berbagai sektor kini tengah berupaya meniru transisi strategis Amazon, yang telah berhasil beralih dari model penjual pihak pertama (first-party seller) menjadi sebuah pasar (marketplace) dan penyedia layanan bagi penjual pihak ketiga. Langkah ini dinilai mampu meningkatkan skala bisnis tanpa menanggung seluruh beban operasional logistik dan inventaris.
Amazon, yang semula hanya menjual barang dari gudang miliknya, telah menjelma menjadi ekosistem perdagangan raksasa yang memberikan ruang bagi jutaan penjual pihak ketiga. Kini, mayoritas penjualan di Amazon justru berasal dari pihak ketiga—yang menggunakan infrastruktur logistik, teknologi, dan layanan iklan milik Amazon. Model ini terbukti memperbesar margin keuntungan sekaligus mengurangi risiko penyimpanan dan distribusi.
Melihat keberhasilan tersebut, perusahaan ritel besar seperti Walmart, Target, dan bahkan perusahaan ritel di sektor non-konvensional seperti Sephora (kecantikan) dan Best Buy (elektronik), juga mulai mengembangkan platform marketplace mereka sendiri. Tujuannya tidak hanya untuk memperluas pilihan produk bagi konsumen, tetapi juga untuk menarik mitra penjual serta membuka sumber pendapatan tambahan dari biaya layanan dan iklan.
Namun, transisi ini bukan tanpa tantangan. Banyak pengecer menghadapi hambatan teknologi, manajemen inventaris yang kompleks, dan kebutuhan untuk membangun kepercayaan antara penjual pihak ketiga dan konsumen. Selain itu, menjaga kualitas layanan dan pengalaman pelanggan tetap menjadi perhatian utama dalam model platform terbuka.
Kendati demikian, arah transformasi ini menunjukkan bahwa masa depan ritel global semakin bergeser ke model ekosistem terbuka. Dengan menjadi perantara antara pembeli dan penjual, pengecer memiliki peluang untuk menjadi pusat pertumbuhan digital yang berkelanjutan—selama mereka mampu meniru keberhasilan Amazon tanpa mengabaikan kekuatan merek dan loyalitas konsumen. (Jo)