TANGERANG, ifakta.co – Dalam beberapa tahun terakhir, profesi guru di sejumlah daerah telah mengalami peningkatan kesejahteraan yang signifikan. Melalui tunjangan sertifikasi, insentif daerah, dan program-program peningkatan kualitas pendidikan, banyak guru kini menikmati taraf hidup yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Namun, di balik capaian itu, muncul tantangan baru yang tak kalah penting: menurunnya solidaritas dan soliditas di kalangan guru, termasuk dalam wadah organisasi PGRI.
- Kemakmuran yang Mengikis Semangat Kolektif
PGRI sejak dulu dikenal sebagai wadah perjuangan para guru, tempat menyuarakan hak dan martabat profesi pendidik. Namun, ketika sebagian besar anggota mulai menikmati kesejahteraan, semangat kolektif perlahan memudar. Banyak guru merasa cukup dengan kenyamanan pribadinya, dan tidak lagi merasa perlu aktif dalam kegiatan organisasi atau memperjuangkan nasib rekan-rekannya yang belum seberuntung mereka.
- Kesenjangan Internal di Kalangan Guru
Kesejahteraan yang tinggi sering kali tidak merata. Ada guru-guru ASN bersertifikasi yang hidup nyaman, sementara guru honorer atau GTT masih berjuang dengan penghasilan minim. Ketika kelompok guru yang lebih sejahtera enggan bersolidaritas atau bahkan acuh terhadap perjuangan kolektif, PGRI kehilangan kekuatannya sebagai organisasi yang solid dan representatif.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Minimnya Partisipasi dalam Organisasi
Banyak guru yang saat ini memandang PGRI hanya sebagai simbol administratif, bukan wadah perjuangan. Kehadiran dalam rapat, kegiatan sosial, atau advokasi organisasi dianggap sekadar formalitas. Padahal, keberhasilan organisasi seperti PGRI sangat bergantung pada keterlibatan aktif seluruh anggotanya. Tanpa partisipasi, tidak akan ada kekuatan.
- Individualisme dalam Dunia Pendidikan
Peningkatan kesejahteraan sering kali membawa perubahan gaya hidup. Guru lebih fokus pada pengembangan pribadi, kegiatan sampingan, atau pencapaian individu. Hal ini membuat nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong yang dulu kuat di kalangan pendidik mulai terpinggirkan. Padahal, pendidikan adalah kerja kolektif yang membutuhkan semangat kolaborasi, bukan kompetisi.
- Membangun Kembali Jiwa Kolektif PGRI
Situasi ini menjadi peringatan bagi kita semua, terutama pengurus dan anggota PGRI. Kesejahteraan adalah capaian yang patut disyukuri, namun tanpa diiringi dengan jiwa solidaritas dan komitmen terhadap sesama guru, organisasi akan kehilangan makna dan kekuatannya. Saatnya menghidupkan kembali semangat solidaritas, menyatukan suara, dan memastikan bahwa PGRI tetap menjadi rumah besar perjuangan guru dari semua lapisan.
Penutup
Kesejahteraan yang tinggi seharusnya menjadi modal untuk memperkuat persatuan, bukan alasan untuk menjauh dari perjuangan kolektif. Bagi PGRI dan seluruh guru Indonesia, tantangan ke depan bukan hanya memperjuangkan hak, tapi juga merawat semangat kebersamaan yang menjadi roh dari profesi pendidik itu sendiri.
(Sb-Alx)
Sumber : Edy Cahyadinata, S.Pd. M.M
Pengurus PGRI Kab.Tangerang