NGANJUK ifakta.co – Kendati peringatan hari ulang tahun (HUT) Nganjuk sudah mencapai usia yang ke 1087 tahun, namun tetap saja masih banyak masyarakat Nganjuk termasuk pejabatnya belum memahami sepenuhnya makna histori cikal bakal nama Nganjuk tersebut.
Hal itu sebagaimana diungkap oleh “sing (sebagai) peneliti sejarah Nganjuk, yang bernaung dalam komunitas pecinta sejarah dan ekologi Nganjuk (KOTASEJUK), Sukadi.
“Saya masih melihat adanya pembelokan sejarah Nganjuk dan ini sangat memprihatinkan bagi kami para peneliti sejarah Nganjuk yang terhimpun dalam Komunitas Kotasejuk, buktinya, dari tahun ke tahun, setiap kali jatuh pada hari peringatannya, selalu diwarnai dengan kejanggalan,” tutur SUKADI pada ifakta.co Senin 8 April 2024.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya kejanggalan pertama pada peringatan HUT Nganjuk yang telah ditetapkan sebagai sumber primernya adalah Prasasti Anjukladang 10 April 937. Suatu masa kerajaan Mataram Medang di bawah kekuasaan Sri Maharaja Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotunggadewa.
“Namun peringatannya awalnya dengan Boyong, pemerintahan kabupaten Berbek ke Kota Nganjuk, suatu masa pemerintahan Kolonial Belanda yang dilaksanakan setiap tanggal 9 April, sehari menjelang hari ulang tahun.Karuan saja, prosesi boyong ini berulang kali mendapat kritikan dari berbagai pihak, lantaran di antara kedua peristiwa (HUT Nganjuk dengan Boyong) tersebut tidak memiliki korelasi sama sekali,” papar Dosen disalah satu UN di Nganjuk itu.
Lantas kata Sukadi oleh sebab apa, di waktu-waktu berikutnya, boyong berubah nama menjadi pawai alegoris dengan mengusung pusaka dari Kecamatan Berbek ke pendapa Nganjuk.
“Pada kemasan kedua ini justru terlihat kejangaalan dan kesalahan fatal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, alegoris masuk dalam ranah dunia sastra, yang berarti cerita yang dipakai sebagai lambang (ibarat atau kias) perikehidupan manusia yang sebenarnya untuk mendidik (terutama moral) atau menerangkan sesuatu (gagasan, cita-cita, atau nilai kehidupan, seperti kebijakan, kesetiaan, dan kejujuran). Lantas di mana letak penggambaran alegoris yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Nganjuk ini dengan HUT Nganjuk,” tegasnya.
Sukadi juga menjelaskan kejanggalan kedua, yakni data primer Prasasti Anjukladang ditemukan di Candilor, Desa Candirejo, Kecamatan Loceret yang dipilih sebagai sumber tertua penetapan HUT Nganjuk. Sedangkan pawai alegoris mengambil seeting lokasi di Kecamatan Berbek.
“Alasan pertama sudah salah, kini bertambah salah. Seharunya, oleh karena HUT Nganjuk bersumber dari Prasasti Candilor, baik bentuk perayaan maupun lokusnya menyesuaikan dengan peristiwa sejarah dan setting lokasinya, yaitu di Candilor,” urainya.
Selanjutnya Sukadi menerangkan kejanggalan ketiga, Pawai alegoris inipun kembali mendapat kritikan dari kalangan pecinta sejarah dan masyarakat Nganjuk, karena esensi perayaannya semakin menyimpang dan tidak jelas dari historical basic HUT Nganjuk.
“Tampaknya, Pemerintah Daerah Nganjuk belum juga bisa menerima kebenaran sejarah HUT Nganjuk. Tetap saja mempertahan alegoris aliansi dari boyong menjadi kirap pusaka dengan tetap memertahankan lokus Berbek dengan berbagai dalih,” tandas Sukadi.
Ia menceritakan bahwa telah menjadi ketetapan bahwa cikal-bakal munculnya nama Nganjuk berasal dari nama Anjukladang seperti tertera dalam prasasti Anjukladang. Prasasti Anjukladang ini pertama kali ditemukan di Desa Candi Lor, Desa Candirejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk.
Dari situ di dalamnya secara implisit menyebutkan bahwa terjadi perang besar-besaran atau prahalaya antara laskar Pu Sindok dibantu rakyat sipil Sima Anjukladang melawan prajurit Swarnadwipa Sriwijaya.
Peperangan dimenangkan oleh laskar Pu Sindok. Kepada rakyat sipil Anjukladang, Pu Sindok kemudian memberikan hadiah berupa hak swatanra, bebas dari pembayaran pajak dan pemberian pasak-pasak atau hadiah kepada rakyat Sima Anjukladang yang berjasa, berupa emas dan kain.
“Hanya, sejarah heroik rakyak sipil Anjukladang dan nama Pu Sindok tersebut tenggelam akibat dari visual alegoris boyongan dari Berbek ke Nganjuk setiap peringatan HUT Nganjuk.Parahnya lagi, peringatan HUT Nganjuk “enggan” diadakan di kompleks Candi Lor, Desa Candirejo, Kecamatan Loceret dengan visual laskar Pu Sindok bersama para pengikutnya dibantu oleh rakyat Sima Anjukladang yang didahuli dengan pemberiaan hadiah, sebagaimana dilakukan oleh Raja Sindok kepada rakyat Kakatikan Anjukladang pada masa itu,” bebernya.
“Selintas sah-sah saja, sebuah peringatan hari bersejarah ditandai dengan visual perayaan dalam kemasan apa saja. Lebih-lebih, perayaan dilakukan oleh seorang penguasa, tentu tidak ada pejabat di bawahnya yang berani menentangnya, meskipun salah kebablasan,” terang Sukadi.
Sementara itu bagi warga Nganjuk yang mengerti sejarah cikal bakal Nganjuk yang diawali dari penemuan sebuah prasasti Candi Lor 937 tahun silam, masa pemerintahan Mataram Kuno. Yaitu, berupa anugerah Raja Mataram Medang Pu Sindok kepada rakyat Kakatikan Anjukladang berupa hak swatantra, bebas dari pembayaran pajak.
Anugerah diberikan kepada rakyat Kakatikan atas jasanya membantu mengalahkan musuh dari Sriwijaya bersama sekutunya.
“Sementara, peristiwa boyongan, terjadi pada era kolonial Belanda, pada tanggal 6 Juni 1880 silam. Yaitu, proses perpindahan sistem pemerintahan Kabupaten Berbek ke Kota Nganjuk, pada masa Bupati Berbek Sosrokusumo tiga,” kata Sukadi.
Ia kembali menegaskan jika pada masa sekarang ketika peringatan hari jadi Nganjuk, yang kemudian dianggap sebagai hari jadi Kabupaten Nganjuk ditandai dengan alegoris boyong, dari alun-alun Berbek ke Kabupaten Nganjuk.
Tentu saja hal ini menghasilkan banyak kontroversi pelurusan sejarah Nganjuk yang sudah salah kaprah.
“Lantas apa hubungannya antara hari jadi Nganjuk yang seharusnya berpedoman kepada sejarah prasasti Candi Lor tahun 937 Masehi dengan Kanjeng Jimat Sosrokusumo, bupati pertama Berbek, masa penjajahan kolonial Belanda?Ironisnya lagi, apakah tidak ada di antara pejabat Nganjuk yang mengingatkan kepada bupati, bahwa peringatan hari jadi Nganjuk yang selama ini dilaksanakan dengan mengambil setting tempat di Kecamatan Berbek adalah suatu pembelokan sejarah,” ucap Sukadi bersemangat.
Sukadi berharap semua pihak berupaya meluruskan, peringatan hari jadi Nganjuk dengan mengambil setting tempat di Candi Lor, sebagai cikal bakal nama Anjukladang dengan kemasan prosesi bukan boyong.
“Beruntung sejak 10 April 2022 lalu, Komunitas Pecinta Sejarah Nganjuk (KOTASEJUK) berusaha untuk menempatkan peringatan HUT Nganjuk sesuai nilai-nilai sejarah yang benar, berdasar isi Prasasti Candi Lor. Yaitu sebuah prosesi upacara penetapan tanah sima – bebas dari kwajiban membayar pajak dari Raja Sindok kepada rakyat Kakatikan Anjukladang. Upacara penetapan sima yang dalam Prasasti Anjukladang disebut Manusuk Sima,” pungkas sejarawan sejati Nganjuk itu.
(MAY).