Ilustrasi
ifakta.co, Jakarta – Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan bahwa Pemerintah Indonesia bahkan dunia, hingga saat ini belum dapat menjawab mengenai pertanyaan kapan pandemi COVID-19 akan berakhir.
Perlu disadari bahwa hingga saat ini memang belum ditemukan vaksin untuk mengobati COVID-19.
Kendati demikian, beberapa ahli dan pakar dunia tengah berlomba untuk menemukan ramuan yang tepat untuk mengobati virus SARS-CoV-2 yang utamanya menyerang paru-paru manusia tersebut.
“Seluruh dunia juga tidak tahu, karena virus ini, untuk vaksinnya belum ditemukan. Jadi, maka dari itu, sampai dengan vaksin belum ditemukan, kita harus bisa selalu berhadapan dengan virus ini,” ungkap Wiku dalam dialog di Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta (12/5).
Dalam hal ini perlu dipahami bersama-sama dan disadari secara kolektif bahwa, dalam masa-masa krisis kesehatan seperti yang sedang dialami Indonesia dan beberapa negara di dunia, penerapan protokol kesehatan menjadi metode paling dianjurkan untuk menghadapi COVID-19.
Sudah sering disampaikan bahwa protokol kesehatan seperti mencuci tangan dengan sabun dan air yang mengalir, menggunakan masker, menjaga jarak dan beraktivitas di rumah menjadi hal baru yang wajib dilakukan demi memutus rantai penyebaran virus COVID-19.
Selain itu, beberapa kebijakan telah diambil oleh beberapa negara di dunia seperti penerapan lockdown, karantina wilayah dan pembatasan wilayah dan sebagainya.
Pemerintah Indonesia sendiri juga telah mengambil kebijakan sendiri dengan mengeluarkan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang hingga saat ini masih diterapkan dan diberlakukan hingga waktu yang belum ditentukan.
Penerapan PSBB tersebut berlaku bagi seluruh kalangan namun ada pengecualian.
Dalam peraturan PSBB telah disebutkan bahwa mereka yang ‘direstui’ keluar batas wilayah tertentu adalah bagi yang mengantongi surat izin dinas dari atasan. Selain itu juga bagi mereka yang sedang ditimpa kemalangan, pun harus menyertakan beberapa dokumen yang disyaratkan.
Keadaan seperti itu harus dipahami bersama-sama bahwa pada akhirnya masyarakat Indonesia harus bisa berdaptasi dengan keadaan yang baru. Di mana ada beberapa hal baru yang harus ditegakkan di tengah rutinitas yang selama ini dikerjakan.
Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa tidak semua aktivitas dilarang, namun dikurangi atau diganti penerapannya. Tidak ada sekolah di ruang kelas, namun diganti belajar di rumah. Tidak ada bekerja di kantor, namun bekerja dari rumah.
Pelaksanaan ibadah pun terkena imbas. Upacara keagamaan dan ibadah yang lainnya harus dilakukan di rumah. Tidak ada kerumunan, karena hal itu sangat berpotensi terjadi penularan COVID-19.
Beberapa bentuk perubahan atau transformasi baru inilah yang kemudian melahirkan istilah “New Normal”, yakni perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan ditambah menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan virus corona jenis baru, penyebab COVID-19.
“Prinsip yang utama adalah harus bisa menyesuaikan pola hidup. Secara sosial, kita pasti akan mengalami sesuatu bentuk, new normal, atau kita harus beradaptasi dengan beraktifitas, dan bekerja, dan tentunya harus mengurangi kontak fisik dengan orang lain, dan menghindari kerumunan, dan bekerja, dan sekolah dari rumah,” jelas Wiku.
Secara sosial disadari bahwa hal ini juga akan berpengaruh. Sebab ada aturan yang disebutkan dalam protokol kesehatan untuk menjaga jarak sosial dengan mengurangi kontak fisik dengan orang lain.
Lantas sampai kapan masyarakat harus hidup secara “New Normal” ini?
Profesor Wiku menjelaskan bahwa kehidupan dapat kembali normal setelah vaksin ditemukan dan dapat dipakai sebagai penangkal virus corona jenis baru itu.
“Transformasi ini adalah untuk menata kehidupan dan perilaku baru, ketika pandemi, yang kemudian akan dibawa terus ke depannya sampai tertemukannya vaksin untuk COVID-19 ini,” kata Wiku.
Menurut Wiku, beberapa ahli dan pakar dunia telah memastikan bahwa kemungkinan paling cepat ditemukan vaksin itu adalah tahun depan. Artinya kemungkinan terbesar masyarakat harus hidup secara “New Normal” sampai tahun depan, bahkan bisa lebih.
Dalam hal ini, pemerintah pastinya berharap agar vaksin itu tidak sampai harus dikonsumsi untuk mengobati COVID-19 yang dijangkit oleh masyarakat Indonesia.
Dengan kata lain, pemerintah berharap bahwa penularan virus corona jenis baru di tengah masyarakat itu dapat diputus sebelum vaksin itu ditemukan.
Oleh sebab itu, perubahan perilaku menjadi kunci optimisme dalam menghadapi COVID-19 ini. Yakni tetap menjalankan kehidupan sehari-hari ditambah dengan penerapan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah atau didefinisikan sebagai “New Normal”.
Di sisi lain, Pemerintah juga berharap bahwa sebelum vaksin di temukan, masyarakat dapat kembali hidup “normal” setelah menerapkan “New normal” dengan disiplin tinggi dan bergotong-royong agar terbebas dari COVID-19.
“Tapi, kita harus berpikiran positif, karena Indonesia ini punya kapasitas yang besar dan gotong royong, nah, marilah kita gotong royong untuk merubah perilaku bersama,” jelas Wiku.
New Normal, Perangi COVID-19 dan Pengendalian Ekonomi
Berbicara COVID-19, maka hal itu tidak hanya soal medis (kesehatan) saja, dampak dari pandemi ini juga membuat ekonomi menjadi lesu. Sebab kegiatan perekonomian harus terhenti dan dibatasi sesuai protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah, guna menghindari penularan COVID-19 agar tidak semakin meluas.
Dalam kesempatan yang sama Tim Pakar Ekonomi Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Dr. Beta Yulianita Gitaharie mengatakan bahwa menyelamatkan nyawa dan menekan angka pertumbuhan penularan COVID-19 menjadi penting. Akan tetapi kegiatan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat juga harus tetap berjalan.
“Memang kalau kita amati, COVID-19 ini telah membawa pengaruh juga perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan ekonomi dan masyarakat,” ungkap Beta.
Beta melihat bahwa hal itu tentunya juga memperburuk keadaan suatu kehidupan ekonomi masyarakat apabila hanya berpaku pada pengendalian kesehatan saja. Dua hal antara kesehatan dan ekonomi masyarakat harus berimbang.
Selama pandemi, kemerosotan ekonomi dapat dibilang gamblang di depan mata.
Mengutip data Kementerian Ketenagakerjaan per tanggal 20 April 2020, sedikitnya ada 2 juta pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebanyak 62 persen ada di sektor formal dan sisanya yakni 26 persen berada di sektor informal dan UMKM.
Hal itu kemudian semakin buruk ketika angka menjadi 6 juta pekerja yang di-PHK oleh perusahaannya karena imbas pandemi COVID019 dalam satu bulan terakhir ini.
Dari data tersebut, Beta mengemukakan bahwa masyarakat harus tetap dapat melakukan aktivitasnya dalam menggerakkan roda perekonomian di tengah pandemi COVID-19 ini. Tentu solusinya adalah dengan tetap menerapkan disiplin “New Normal” sebagai fase yang sudah mulai dijalani oleh masyarakat sekarang ini.
“Masyarakat masih tetap bisa melakukan aktifitas, gitu ya. Tetap melakukan aktifitas dengan tadi seperti yang Pak Wiku sampaikan, juga tetap disiplin dalam memperhatikan atau melakukan protokol pencegahan COVID-19,” jelas Beta.
Dalam hal ini, Beta juga menyoroti data Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, yang menyebutkan bahwa resiko kematian pasien usia 60 tahun ke atas itu mencapai 45 persen. Data tersebut kemudian diikuti kelompok usia 46-59 tahun dengan resiko kematian 40 persen.
Selain itu, data Gugus Tugas juga meyatakan bahwa ada faktor penyakit penyerta atau komorbiditas hipertensi, diabetes, jantung dan penyakit paru-paru, yang memperburuk kondisi pasien hingga meninggal dunia.
Artinya usia di bawah 45 tahun menjadi lebih stabil dan aman apabila dibanding dengan mereka yang menginjak usia di atasnya. Kemudian kasus kematian COVID-19 sudah jelas dipengaruhi faktor komobiditas.
Lebih lanjut, ketika menengok data Badan Pusat Statistik (BPS), Beta menemukan fakta bahwa sebanyak 130 jiwa dengan usia produktif di bawah 45 tahun menyumbang kontribusi yang tinggi terhadap perekonomian.
Beta kemudian juga melihat bahwa pekerjaan di bidang kesehatan, pangan, makanan dan minuman, energi, komunikasi teknologi, keuangan, logistik, konstruksi, industri strategis, pelayanan dan utilitas publik serta industri yang ditetapkan sebagai objek vital nasional, atau objek tertentu, dan sektor swasta yang melayani kebutuhan sehari-hari menjadi gambaran bahwa mereka yang bergerak di bidang itu dapat melakukan aktivitas sebagai penyokong perekonomian.
Tentunya dalam hal ini harus memperhatikan beberapa faktor seperti usia dan tetap menerapkan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah, termasuk patuh terhadap anjuran PSBB.
Menyambung dengan pernyataan Profesor Wiku sebelumnya bahwa, memang besar harapan masyarakat untuk kembali hidup normal, akan tetapi ada syarat yang harus dipenuhi untuk kembali menjadi normal, yakni mematuhi aturan pemerintah.
Persoalan menanti vaksin kemudian harus diimbangi dengan sikap legowo dan menerima bahwa memang dunia sedang mencoba hidup melawan COVID-19. Maka dari itu, selagi berjuang menuju kemenangan melawan virus corona jenis baru, mulailah menengok jati diri bangsa Indonesia bahwa perilaku gotong-royong selalu memberikan harapan baru.
“Kita semuanya di dunia bisa mendapatkan vaksinnya, sehingga kita bisa menangani atau mengalahkan virus ini, kalau ketemu vaksinnya. Tapi, kita harus berpikiran positif, karena Indonesia ini punya kapasitas yang besar dan gotong royong. Nah, marilah kita gotong royong untuk merubah perilaku bersama,” pungkas Wiku.
(ham)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT