“Ternyata belakangan ini sejumlah kasus yang diduga melanggar KEJ malah ditangani kepolisian dengan hukum pidana”
Pelanggaran KEJ Jadi Pidana
Oleh : Drs. Kamsul Hasan, SH, MH
Akhirnya pada Rabu dinihari antara dua pertiga malam, jelang Subuh ini saya tunaikan janji, kelanjutan catatan KEJ Emang Gue Pikirin.
Sesuai namanya Kode Etik Jurnalistik atau KEJ memang kumpulan pasal terkait etik yang harus dipatuhi wartawan.
Perintahnya jelas berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. KEJ dimaksud yang 11 pasal ditetapkan Dewan Pers.
Namun pada bagian bawah KEJ yang ditetapkan pada 14 Maret 2006 terdapat kata sanksi diberikan oleh organisasi profesi atau perusahaan pers, ini menimbulkan persoalan.
Ternyata belakangan ini sejumlah kasus yang diduga melanggar KEJ malah ditangani kepolisian dengan hukum pidana.
Dalam grup diskusi ahli pers Dewan Pers setidaknya ada tiga kasus yang masih proses baik di kepolisian maupun pengadilan.
Kasus tersebut berawal dari dugaan pelanggaran Pasal 1 dan atau Pasal 3 KEJ, tentang keberimbangan, uji informasi dan asas praduga tak bersalah.
Kasus di Sumatera Barat sudah dijatuhkan vonis pada tingkat pertama. Namun dilakukan perlawanan hukum, banding.
Polisi di Aceh Tamiang sudah menetapkan wartawan sebagai tersangka Pasal 27 ayat (3) UU ITE, muatan pencenaran nama baik. Pasal ini ancamannya tidak cukup untuk melakukan penahanan.
Namun lain halnya yang sedang menjadi pembicaraan ahli pers adalah penetapan Polda Sulawesi Selatan terhadap wartawan dan langsung menahannya dengan Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 tahun 1946.
(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.
Selain pelanggaran Pasal 1 dan Pasal 3 KEJ yang tidak mematuhi uji informasi, asas praduga tak bersalah dan keberimbangan karya jurnalistik, kini Pasal 5 KEJ dan PPRA juga berdampak hukum.
Dewan Pers pada 9 Februari 2019, setahun silam sudah menetapkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) yang bersumber pada UU SPPA.
PPRA sekaligus merevisi Pasal 5 KEJ. Selama ini wartawan patuh pada definisi anak sampai usia 16 tahun dan sebagai pelaku tindak pidana, sebagaimana Pasal 5 KEJ.
Sekarang definisi anak menjadi 18 tahun baik belum maupun sudah menikah. Status anak yang dilindungi juga diperluas semula hanya pelaku, saat ini anak korban tindak pidana atau saksi juga harus ditutup identitasnya.
Pelanggaran terhadap PPRA dan atau UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) bisa masuk rana pidana.
Pasal 19 Jo. Pasal 97 UU SPPA melarang membuka identitas anak dan kerabat. Ancamannya 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Semoga wartawan terhindar dari ancaman ini.
Sampai sejauh mana MoU Dewan Pers dan Kapolri untuk melindungi wartawan ? Melihat kasus di atas, mengingatkan kita kembali patuh pada KEJ dan rambu pemberitaan lainnya termasuk PPRA agar tak terjerat hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PROFIL PENULIS
Drs. Kamsul Hasan, SH, MH
– Staf pengajar pada sejumlah perguruan tinggi di Jakarta.
– Praktisi dan pengamat media.
– Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat
– Ahli Pers Indonesia.
– Penasehat Hukum di Harian Pos Kota
– Konsultan Hukum dan Komunikasi