iFAKTA.CO, JAKARTA – Upaya pemenuhan protein hewani bagi masyarakat, terus digenjot. Ragam jenis hewannya pun banyak. Untuk itu, Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian terus mendorong masyarakat mendorong produksi dalam negeri. Caranya? Antara lain dengan terus meningkatkan produksi ternak serta memberikan ragam pilihan protein hewani bagi masyarakat.
“Masyarakat Indonesia memiliki banyak pilihan, seperti daging ayam ras dan lokal, daging bebek, telur ayam ras, daging kambing/domba, dan juga daging sapi/kerbau. Hampir semuanya kita sudah swasembada, dan potensi untuk diekspor. Khusus untuk daging sapi/kerbau target swasembada kita adalah tahun 2026,” ungkap I Ketut Diarmita, Dirjen PKH, Kementan (14/09/2019).
Sebagai contoh, data Ditjen PKH sampai bulan ini, potensi kebutuhan daging ayam ras tahun 2019 (Januari-Desember) adalah sebesar 3.251.745 ton atau rata-rata 270.979 ton/bulan, sedangkan potensi produksi daging ayam ras tahun 2019 (Januari – Desember) sebesar 3.829.663 ton atau rata-rata 319.139 ton/bulan. Dari data tersebut terdapat potensi surplus sebanyak 577.918 ton atau 17.77% selama periode 2019.
Khusus daging sapi/kerbau, Ketut menjelaskan untuk mewujudkan swasembada daging sapi/kerbau, Kementan telah melaksanakan program terobosan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS SIWAB), penambahan sapi indukan, pengembangan sapi Belgian Blue dan sapi Wagyu, yang didukung dengan upaya peningkatan status kesehatan hewan, penjaminan keamanan pangan asal ternak, skim pembiayaan, investasi dan asuransi ternak.
Secara nasional program Upsus Siwab sejak tahun 2017 hingga saat ini, menunjukkan realisasi yang sangat mengembirakan, yaitu Inseminasi Buatan/IB dengan realisasi 10.548.530 ekor akseptor atau 105,49 % dari target 10 juta ekor akseptor, kebuntingan sebanyak 5.498.695 ekor atau 76,37% dari target 7,2 juta kebuntingan; dan kelahiran sebanyak 4.140.916 ekor atau 71,89% dari target 5.760.000 ekor.
Lebih lanjut Ketut menjelaskan bahwa untuk mewujudkan swasembada, Program Kedua adalah penambahan sapi indukan Brahman Cross pada tahun 2015, 2016, dan 2018. Sekitar 8.985 ekor sapi Brahman Cross telah di distribusikan ke 16 Provinsi di seluruh Indonesia (Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur).
“Upaya lain kita dengan percepatan peningkatan populasi sapi dan kerbau yaitu dengan Program Pengendalian Betina Produktif. Kami bekerjasama dengan Baharkam Polri,”tegas Ketut. Hal ini penting mengingat pemotongan betina produktif tercatat cukup tinggi setiap tahunnya. Sebelum tahun 2017, angka pemotongan betina produktif ada di atas 22 ribu ekor.
“Tahun 2018 angka ini dapat ditekan menjadi 12.209 atau menurun 47,10% dibanding tahun 2017. Sementara pada hingga Agustus 2019 tercatat angka pemotongan sapi betina produktif masih cukup rendah diangka 7.268 ekor” tambah Ketut.
Pengembangan Ras Sapi Baru
Upaya lain pemerintah untuk percepatan swasembada daging, menurut Ketut dengan pengembangan sapi ras baru, yaitu Belgian Blue. Langkah ini dengan supervisi para ahli, akademisi serta praktisi di bidang perbibitan, bahkan dengan MoU Perguruan Tinggi untuk program percepatan pengembangan tersebut. Ketut berharap pada 2019 akan lahir sebanyak 1.000 ekor sapi Belgian Blue. “Penting bagi kami semua pihak memiliki presepsi dan pandangan yang sama terkait kebijakan pemerintah tersebut. Semua demi kepentingan nasional,” pungkasnya.
Menurut Ketut saat ini tingkat konsumsi daging di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan tingkat konsumsi per kapita dari 4 negara ASEAN lain seperti Malaysia, Thailand, Philippina, dan Viet Nam yang bersama Indonesia memiliki memiliki tingkat konsumsi daging mencapai 4,5 kg/kapita. Konsumsi per kapita Indonesia berada di bawah rata-rata dengan hanya 2,6 kg/kapita. Dengan tingkat konsumsi per kapita sekarang, kontribusi Indonesia terhadap total konsumsi daging sapi di ASEAN hanya mencapai 48%, sementara penduduk Indonesia merupakan yang terbanyak di ASEAN hingga 69%. Hal ini menjadi peluang untuk meningkatkan gairah industri peternakan di Indonesia. (jpp/amy)