Oleh: Deni Wijaya

Kita seringkali terlena dalam rutinitas, menganggap remeh keseimbangan alam, dan lupa bahwa di balik ketenangan tersimpan kekuatan dahsyat yang tak terduga.

Kisah Aceh, Sumatera, dan bahkan kampung halaman kita sendiri, Prabumulih, adalah pengingat yang tak ternilai harganya.

Iklan

Tsunami Aceh 2004 adalah tragedi kemanusiaan yang mengguncang dunia. Lebih dari sekadar bencana alam, tsunami adalah pelajaran tentang kerentanan manusia di hadapan kekuatan alam yang tak terkendali.

Bantuan dari berbagai penjuru dunia mengalir deras, menunjukkan solidaritas global dan harapan untuk bangkit kembali.

Namun, di balik puing-puing dan air mata, ada pertanyaan mendasar: sudahkah kita belajar dari luka Aceh?

Banjir bandang yang melanda Sumatera Barat dan Sumatera Utara baru-baru ini adalah alarm lain yang berdering kencang.

Alam seolah “berbicara” dengan caranya sendiri, mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem, mencegah deforestasi, dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.

Kerusakan yang ditimbulkan adalah cermin dari kelalaian kita sendiri.

Di tengah duka Sumatera, kampung halaman kita, Prabumulih, juga menyimpan cerita pilu.

Ambruknya jembatan penghubung di Kelurahan Muara Dua bukan sekadar masalah infrastruktur, tetapi juga simbol dari kerapuhan yang mungkin ada dalam sistem kita.

Anak-anak sekolah yang terpaksa memutar jalan adalah potret dari tantangan yang harus kita hadapi bersama.

Banjir di beberapa wilayah Prabumulih juga menambah daftar panjang masalah yang perlu segera diatasi.

Bencana alam seringkali dipandang sebagai ujian atau peringatan dari Sang Pencipta. Dalam konteks ini, kita perlu merenungkan.

Apakah kita mampu menunjukkan ketangguhan, solidaritas, dan kepedulian terhadap sesama di saat-saat sulit.

Apakah kita sudah cukup bijak dalam mengelola alam, menjaga lingkungan, dan membangun infrastruktur yang berkelanjutan?

Kita tidak bisa mengendalikan kekuatan alam sepenuhnya, tetapi kita bisa belajar untuk bersahabat dengannya. Ini berarti: Meningkatkan kesiapsiagaan, membangun sistem peringatan dini yang efektif, dan merencanakan tata ruang yang aman.

Mengembangkan teknologi dan strategi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim dan ancaman bencana. Menjaga hutan, lahan basah, dan ekosistem penting lainnya yang berfungsi sebagai penyangga alami terhadap bencana.

Kisah Aceh, Sumatera, dan Prabumulih adalah panggilan untuk bertindak. Mari kita jadikan setiap bencana sebagai momentum untuk: Meningkatkan kesadaran, memperkuat solidaritas, dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan.

Alam adalah guru terbaik kita. Mari kita dengarkan “suara”-nya, belajar dari setiap pelajaran yang diberikan, dan bertindak dengan bijak demi masa depan yang lebih baik.