JAKARTA, Ifakta.co – Serikat Petani Indonesia (SPI) menegaskan pentingnya menjadikan UNDROP (Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan) sebagai landasan utama dalam revisi UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012. Penegasan ini disampaikan SPI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IV DPR RI di Gedung DPR RI, Senin (17/11/2025). Pada kesempatan tersebut, SPI juga menyerahkan buku UNDROP kepada Komisi IV sebagai bahan rujukan dalam proses Revisi UU Pangan.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih, menjelaskan bahwa UNDROP memuat definisi dan prinsip dasar mengenai siapa yang disebut petani dan apa saja hak-haknya. Menanggapi pertanyaan Komisi IV mengenai belum adanya definisi ‘petani’ dalam regulasi Indonesia, Henry merujuk langsung pada UNDROP Pasal 1: “Petani adalah orang yang bekerja langsung di tanah pertaniannya dan terikat pada tanah tersebut, bukan semata untuk kepentingan ekonomi,” tegasnya.

Iklan

UNDROP sebagai Instrumen Internasional dan Relevansinya bagi Indonesia


Dalam RDPU tersebut, Henry menekankan bahwa UNDROP lahir sebagai respons global atas krisis pangan yang memperlihatkan rentannya posisi petani dan orang yang bekerja di pedesaan. Bagi Indonesia yang merupakan inisiator dari UNDROP tersebut, instrumen ini sangat relevan karena memperkuat prinsip-prinsip yang sudah terdapat dalam UUD 1945 Pasal 33, UU Pokok Agraria 1960, TAP MPR IX/2001, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani 2013. Namun, meskipun kerangka hukum sudah ada, implementasi perlindungan petani dinilai masih lemah.

SPI memaparkan bahwa situasi di lapangan menunjukkan ketidakadilan struktural yang terus berlanjut. Pada 2023, jumlah petani gurem mencapai 16,89 juta orang atau lebih dari 60 persen total petani. Ketimpangan penguasaan lahan juga sangat tinggi: rasio gini BPS 2013 sebesar 0,68, BPN 2015 sebesar 0,72, dan sekitar 0,58 pada data terbaru tahun 2022 yang berarti 1% penduduk menguasai 58% tanah di Indonesia. Kondisi ini memperlihatkan urgensi penggunaan UNDROP sebagai acuan dalam kebijakan pangan dan agraria.

Tidak sampai di situ, SPI juga menyoroti bahwa UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 melemahkan prinsip kedaulatan pangan yang hendak diperkuat dalam revisi UU Pangan. Henry menjelaskan bahwa berbagai pasal dalam UU tersebut mempermudah impor pangan.
SPI menegaskan bahwa revisi UU Pangan harus berlandaskan prinsip kedaulatan pangan, dengan mengakui petani dan produsen pangan skala kecil lainnya sebagai produsen utama; memasukkan reforma agraria sebagai pilar sistem pangan; menegakkan harga yang adil serta melindungi pasar domestik; membentuk lembaga pangan nasional yang demokratis dan inklusif; serta mengarahkan sistem pangan nasional berbasis agroekologi.

Penyerahan buku UNDROP oleh Henry Saragih dan Agus Ruli Ardiansyah kepada Komisi IV diharapkan menjadi momentum bagi DPR untuk memahami dan mengakui hak-hak petani dalam revisi UU Pangan. (FA)