SEMARANG, ifakta.co | Kota Semarang menyimpan sebuah mahakarya arsitektur kolonial yang megah sekaligus mencekam: Lawang Sewu. Nama yang berarti “Seribu Pintu” dalam bahasa Jawa ini tak hanya merujuk pada banyaknya bukaan jendela dan pintu yang menghiasi bangunannya, namun juga menjadi metafora bagi kisah-kisah kelam dan horor yang terkunci di dalamnya. Lawang Sewu, yang kini berfungsi sebagai museum dan ikon wisata, adalah saksi bisu sejarah yang beraroma mistis.
Lawang Sewu dibangun pada tahun 1904 sebagai kantor pusat oleh perusahaan kereta api swasta Belanda, Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Arsitekturnya yang elegan bergaya Eropa, lengkap dengan jendela kaca patri dan menara air, menjadikannya simbol kemajuan teknologi dan administrasi Hindia Belanda saat itu.
Iklan
Namun, kejayaan dan kemegahan awal itu segera digantikan oleh masa-masa paling gelap dalam sejarahnya. Reputasi angker Lawang Sewu berakar kuat pada masa Pendudukan Jepang (1942-1945). Setelah Jepang mengambil alih gedung ini dari Belanda, Lawang Sewu beralih fungsi menjadi markas militer.
Di sinilah kisah-kisah mengerikan dimulai. Ruang bawah tanah Lawang Sewu, yang awalnya berfungsi sebagai sistem pendingin alami (saluran air), diubah menjadi penjara yang brutal dan tempat penyiksaan massal.
Penjara Berdiri dan Penjara Jongkok. Tahanan, baik serdadu Belanda maupun pejuang Indonesia, dipaksa berdiri atau jongkok berdesak-desakan dalam air yang menggenang dan kondisi yang tidak manusiawi. Banyak yang tewas di tempat ini karena kelaparan, penyakit, dan penyiksaan.
Eksekusi Sadis. Konon, ruang bawah tanah juga menjadi lokasi eksekusi. Ada cerita yang menyebutkan bahwa tahanan dipenggal kepalanya, dan jenazah mereka dibuang ke sungai di samping gedung. Kisah-kisah ini menjadi sumber utama aura mistis, di mana banyak yang meyakini roh-roh penasaran para korban masih terperangkap di sana.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Lawang Sewu kembali menjadi saksi bisu Pertempuran Lima Hari di Semarang (15-20 Oktober 1945). Gedung ini menjadi lokasi pertempuran sengit antara pejuang Indonesia melawan tentara Jepang, yang mengakibatkan banyak korban jiwa dari kedua belah pihak. Setiap sudut bangunan ini seolah merekam teriakan, tembakan, dan nyawa yang melayang dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
Tragedi yang terjadi berulang kali di Lawang Sewu menciptakan narasi mistis yang melegenda dan menjadikan Lawang Sewu salah satu bangunan paling angker di Indonesia. Cerita Penampakan Noni Belanda. Sosok hantu wanita Belanda berambut panjang sering terlihat berjalan mondar-mandir di koridor lantai atas. Konon, ia adalah seorang noni yang tewas secara tragis atau bunuh diri di gedung tersebut.
Bayangan Tentara Tanpa Kepala. Penampakan serdadu Jepang atau Belanda tanpa kepala sering dilaporkan, terutama di area bawah tanah atau koridor yang dulunya menjadi lokasi pertempuran. Bau Anyir Darah. Pengunjung, khususnya di ruang bawah tanah, kerap mencium aroma anyir darah yang menyengat, yang diyakini berasal dari sisa-sisa penderitaan dan kematian di masa lalu.
Lawang Sewu kini telah direstorasi dan dikelola dengan baik sebagai cagar budaya dan museum sejarah perkeretaapian. Namun, di balik keindahan arsitektur dan fungsinya sebagai tempat wisata, ia tetap menjadi monumen yang membawa beban sejarah kelam, mengingatkan pengunjung akan penderitaan di masa lalu, dan memelihara cerita-cerita misteri yang tak lekang oleh waktu. (JO)
