JAKARTA, ifakta.co – Sengketa kepemilikan tanah di Jl. Utama Sakti 8 No.16, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan Grogol, Jakarta Barat, kembali mencuri perhatian. Setelah gugatan pertama belum menyentuh pokok perkara, ahli waris almarhum H. Ali Hanafi Winata kembali mengajukan gugatan kedua terhadap objek dan pihak yang sama.
Objek sengketa tersebut berupa tanah dan bangunan seluas 78 meter persegi yang didasarkan pada perjanjian tanggal 11 Mei 2007 antara almarhum H. Ali Hanafi Winata dan para tergugat. Namun sejumlah praktisi hukum menilai langkah gugatan ulang ini tidak memenuhi kaidah hukum acara perdata karena substansinya identik dengan perkara sebelumnya.
“Dalam hukum acara perdata, memang dimungkinkan mengajukan kembali gugatan yang diputus tanpa pembahasan pokok perkara. Tapi, penggugat wajib melakukan perbaikan formil dan substansial. Kalau hanya mengulang isi yang sama, itu jelas menabrak asas kepastian hukum,” ujar seorang praktisi hukum di Jakarta Barat kepada ifakta.co, Kamis (16/10).
Iklan
Menurutnya, dasar hukum larangan menggugat perkara yang sama sudah diatur dalam Pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyebutkan: “Tidak seorang pun dapat dituntut untuk kedua kalinya mengenai hal yang sama oleh pihak yang sama dan dengan alasan yang sama.”
Selain itu, lanjutnya, Pasal 118 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) menegaskan bahwa gugatan perdata hanya sah apabila memenuhi syarat formil, termasuk identitas para pihak, kejelasan objek, serta hubungan hukum yang jelas.
“Kalau penggugat mengajukan ulang gugatan dengan substansi dan objek yang sama tanpa perubahan berarti, hakim dapat menyatakan perkara itu tidak dapat diterima (NO) berdasarkan Pasal 118 HIR juncto Pasal 1917 KUH Perdata,” ujarnya menjelaskan.
Ia menegaskan, praktik seperti itu termasuk dalam kategori penyalahgunaan hak gugat (abuse of process), karena mengulang perkara yang sama tanpa dasar hukum baru.
“Ini bisa dianggap bentuk pemborosan proses peradilan. Asasnya kan jelas: peradilan itu harus sederhana, cepat, dan biaya ringan, sesuai dengan Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,” katanya.
Praktisi tersebut juga menilai, hakim memiliki kewenangan penuh untuk menghentikan pemeriksaan sejak awal apabila melihat gugatan kedua tidak memenuhi syarat formil.
“Pasal 132a HIR memberikan ruang bagi hakim untuk menilai kelayakan formil suatu gugatan. Jadi kalau memang substansi sama, hakim bisa langsung nyatakan tidak dapat diterima,” ujarnya menegaskan.
Menurutnya, penegakan prinsip tersebut bukan semata soal formalitas hukum, tetapi juga menjaga marwah pengadilan dan kepastian hukum bagi para pihak.
“Kalau setiap perkara yang sama dibiarkan berulang, akan timbul ketidakpastian dan kesan hukum bisa dipermainkan. Itu berbahaya,” pungkasnya.