JAKARTA, ifakta.co – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dikabarkan telah memberikan izin kepada PT Gag Nikel untuk kembali beroperasi di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Keputusan ini menimbulkan tanda tanya sekaligus perhatian publik, mengingat Pulau Gag selama ini dikenal sebagai kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan masuk dalam wilayah konservasi.
Sebelumnya, aktivitas pertambangan di Pulau Gag sempat terhenti lantaran adanya polemik mengenai status kawasan hutan lindung dan keberatan dari kelompok masyarakat sipil serta pemerhati lingkungan. Pulau kecil yang berada di gugusan Raja Ampat itu menjadi sorotan karena memiliki ekosistem laut dan darat yang rentan terhadap kerusakan akibat aktivitas tambang.
Namun, dengan adanya restu baru dari Kementerian ESDM, PT Gag Nikel yang merupakan bagian dari perusahaan tambang nikel besar di Indonesia diklaim telah memenuhi persyaratan teknis dan administratif sesuai ketentuan terbaru. Pemerintah beralasan, izin operasi kembali ini penting untuk mendukung hilirisasi mineral serta penyediaan bahan baku strategis untuk industri baterai kendaraan listrik.
Iklan
Meski demikian, sejumlah pihak mempertanyakan langkah pemerintah tersebut. Pengamat Kebijakan publik dan lingkungan Rinto Agus Hartoyo S. H angkat bicara. “Seharusnya pihak terkait bisa mengkaji lebih jauh perizinan tambang tersebut. Mengingqt raja ampat merupaka destinasi wisata di mata Dunia,” jelasnya kepada ifakta.co (15/9).
Lembaga swadaya masyarakat dan aktivis lingkungan menilai, izin tambang di Pulau Gag berpotensi menimbulkan kerusakan permanen pada ekosistem Raja Ampat yang selama ini menjadi ikon pariwisata dunia. Mereka menuntut agar pemerintah lebih transparan dalam mengungkap dasar pemberian izin, termasuk kajian lingkungan dan persetujuan masyarakat setempat.
Di sisi lain, pemerintah daerah dan sebagian masyarakat lokal melihat peluang ekonomi dari beroperasinya kembali PT Gag Nikel. Tambang tersebut dinilai bisa membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan asli daerah, serta mempercepat pembangunan infrastruktur.
Kini, polemik kembali mencuat. Di satu sisi ada kepentingan ekonomi dan hilirisasi industri nikel, sementara di sisi lain terdapat kekhawatiran akan dampak ekologis terhadap kawasan konservasi Raja Ampat. Publik pun menunggu langkah lanjutan pemerintah, apakah pengawasan dan perlindungan lingkungan akan benar-benar dijalankan atau justru diabaikan demi investasi.(Jo)