JAKARTA, ifakta.co – Majalah Ifakta edisi Juli 2025 membahas sejumlah berita menarik untuk dibaca utamanya soal dugaan korupsi mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarin. Lalu ada Laporan Khusus membahas soal kasus empat pulau di Aceh yang sempat diwacanakan akan di jual ke asing. Katagori Sudut kali ini masih membahas soal dunia bisnis lendir yang dikemas dengan bahas santun dan lugas.

Indonesia tengah berada di persimpangan sejarah: ketika korupsi tak lagi sembunyi, tetapi berani muncul dengan wajah modern dan jargon transisi digital; ketika tanah air bukan lagi dipertahankan, tapi dinegosiasikan sebagai “aset” oleh elite yang seharusnya menjaga martabat negara.

Dua peristiwa yang iFakta soroti dalam edisi Juli ini—korupsi proyek laptop di Kemendikbud era Nadiem Makarim dan kontroversi rencana penjualan empat pulau di Aceh oleh Menteri Perdagangan Tito Karnavian—mencerminkan krisis ganda: krisis moral dan krisis kedaulatan.

Iklan

Proyek pengadaan laptop yang awalnya dimaksudkan untuk mempercepat transformasi digital pendidikan ternyata menyimpan borok besar. Di balik narasi “karya anak bangsa” dan “komponen dalam negeri”, terungkap dugaan mark-up harga, pengadaan fiktif, hingga peran broker teknologi yang dekat dengan lingkar kekuasaan.

Alih-alih meningkatkan kualitas belajar, proyek ini justru menguap sebagai ladang basah. Murid-murid di pelosok hanya menerima kardus, bukan perangkat. Guru-guru dibiarkan menunggu janji sistem yang tak pernah sampai. Dana ratusan miliar melayang, sementara mutu pendidikan tetap jalan di tempat.

Menteri Nadiem Makarim, yang sempat dielu-elukan sebagai anak muda revolusioner dari Silicon Valley, kini harus menjawab pertanyaan publik: apakah transformasi digital hanya alibi untuk menyulap anggaran menjadi keuntungan pribadi segelintir orang?

Jika pendidikan digadaikan, maka kedaulatan pun mulai dijual. Wacana penjualan empat pulau kecil di Aceh dan Sumatera Utara—yang diusulkan sebagai “aset negara tidak produktif” oleh Menteri Perdagangan Tito Karnavian—adalah bentuk lain dari pengkhianatan terhadap cita-cita republik.

Empat pulau itu bukan sekadar tanah kosong. Mereka memiliki nilai ekologis, potensi migas, posisi strategis, dan sejarah panjang sebagai bagian dari tanah air. Menjualnya ke investor asing, tanpa diskusi publik, tanpa pertimbangan geopolitik, adalah kesalahan fatal yang bisa mengancam keutuhan wilayah NKRI di masa depan.

Lebih tragis lagi, Aceh—yang secara hukum memiliki status istimewa melalui MoU Helsinki dan UUPA—sama sekali tidak dilibatkan dalam rencana ini. Ini bukan sekadar masalah birokrasi, tapi pelanggaran terhadap semangat desentralisasi dan otonomi daerah.

Dua kasus besar ini terjadi di masa transisi pemerintahan dari Presiden Joko Widodo ke Presiden Prabowo Subianto. Ini adalah ujian nyata bagi presiden baru: apakah akan melanjutkan watak kekuasaan lama yang permisif terhadap korupsi dan transaksional dalam mengelola negara, atau berani menegakkan disiplin dan memperbaiki warisan yang rusak?

Rakyat menunggu langkah korektif. Penegak hukum harus turun tanpa kompromi. DPR mesti angkat suara, bukan hanya sibuk dengan isu-isu pencitraan.

Negara tidak bisa dikelola seperti perusahaan. Pendidikan bukan pasar. Pulau bukan komoditas. Dan kekuasaan bukan izin dagang.

Majalah IFAKTA dalam edisi ini tidak hanya menyajikan investigasi dan data, tetapi juga menyuarakan sikap: melawan praktik pengkhianatan terhadap kepentingan publik, sekecil apa pun bentuknya, serapi apa pun polanya.

Ketika laptop anak sekolah dipalsukan, dan pulau warisan nenek moyang hendak dilego, maka ini bukan hanya soal korupsi atau maladministrasi. Ini soal karakter sebuah bangsa yang sedang dipertaruhkan.

Dan tugas pers, tugas kita semua, adalah menolak lupa dan menolak tunduk.

Untuk langganan Majalah Ifakta silahkan hubungi 081291675227 atau klik Jojo Anggoro

(redaksi)