JAKARTA, ifakta.co – Bulan Suro, atau yang dikenal sebagai Muharram dalam kalender Hijriyah, memiliki makna yang sangat mendalam dalam tradisi dan filosofi masyarakat Jawa. Bukan sekadar penanda pergantian tahun Jawa, bulan Suro sarat dengan nuansa spiritual, mistik, dan laku prihatin yang mengakar kuat dalam budaya leluhur.

Makna Filosofis Bulan Suro

Dalam pandangan masyarakat Jawa, bulan Suro adalah waktu yang penuh kesakralan. Kata Suro berasal dari kata Asyura, yang dalam Islam merujuk pada tanggal 10 Muharram. Namun dalam konteks Jawa, maknanya berkembang lebih luas, menjadi simbol perenungan diri, pembersihan batin, dan pendekatan kepada Sang Pencipta.

Iklan

Filosofi yang melekat pada bulan Suro adalah tentang kesadaran akan keterbatasan manusia, siklus kehidupan, serta pentingnya menjaga harmoni antara manusia, alam, dan kekuatan gaib. Bulan ini menjadi momentum untuk menundukkan ego, menahan hawa nafsu, serta melakukan laku prihatin atau tirakat sebagai bentuk penguatan spiritual.

Laku dan Tradisi di Bulan Suro

Masyarakat Jawa meyakini bahwa bulan Suro bukan waktu yang tepat untuk melakukan hajat besar seperti pernikahan atau memulai usaha. Sebaliknya, bulan ini digunakan untuk ritual-ritual penyucian diri, seperti:

Tapa brata atau tirakat: Mengurangi makan, tidur, dan bicara untuk memperdalam batin.

Kungkum: Berendam di sungai atau sumber mata air pada malam hari sebagai simbol penyucian diri.

Malam satu suro: Malam pertama bulan Suro dianggap sebagai puncak kesakralan, di mana banyak orang melakukan doa, meditasi, atau wilujengan (selamatan) untuk keselamatan dan ketentraman hidup.

Kirab pusaka: Di beberapa keraton seperti Yogyakarta dan Solo, dilakukan kirab atau arak-arakan benda pusaka sebagai simbol penghormatan kepada leluhur dan penjagaan warisan budaya.

Pantangan dan Etika Sosial

Filosofi bulan Suro juga mengajarkan kehati-hatian. Banyak masyarakat Jawa menghindari melakukan pesta atau perayaan besar. Ini bukan karena bulan Suro dianggap membawa sial, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual dan waktu untuk memperdalam makna hidup.

Bulan Suro: Waktu Introspeksi dan Keseimbangan

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro adalah saat yang tepat untuk menata kembali hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Ini adalah momentum untuk merenungkan perjalanan hidup, menyadari kesalahan, dan memperbaiki diri demi mencapai slamet, yaitu keselamatan lahir dan batin.


(Sb-Alex)