JAKARTA, ifakta.co – Pernyataan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, tentang kewajiban pemasangan CCTV dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru sesungguhnya menyentuh jantung persoalan penegakan hukum di Indonesia.

Relasi kuasa yang timpang antara aparat penegak hukum dan warga negara. Selama bertahun-tahun, ruang pemeriksaan menjadi wilayah yang nyaris steril dari pengawasan publik, sebuah “ruang gelap” tempat kebenaran kerap berhadapan dengan tekanan, bahkan kekerasan.

Dalam KUHAP lama, tidak adanya kewajiban kamera pengawas membuka celah terjadinya praktik sewenang-wenang.

Iklan

Pemeriksaan kerap hanya bergantung pada berita acara yang disusun sepihak. Ketika muncul pengakuan tersangka tentang intimidasi atau paksaan, pembuktiannya menjadi sulit karena tak ada rekam jejak objektif. Akibatnya, prinsip due process of law sering berhenti sebagai jargon normatif, bukan pengalaman nyata bagi warga yang berhadapan dengan hukum.

Gagasan KUHAP baru yang mewajibkan CCTV menyala di ruang pemeriksaan dan lebih jauh, dapat diakses untuk kepentingan pembelaan di persidangan adalah koreksi struktural terhadap praktik lama tersebut.

Seperti disampaikan Habiburokhman dalam Rule of Law Series 2025 Vol. 3 bertajuk “Menyongsong KUHAP Baru. Jaminan Perlindungan HAM dalam Proses Peradilan Pidana”, kamera bukan sekadar alat dokumentasi, melainkan instrumen perlindungan hak asasi manusia.

Dari sudut pandang HAM, CCTV berfungsi ganda. Pertama, sebagai alat pencegah (deterrent) bagi aparat agar menjalankan pemeriksaan secara profesional dan beradab.

Kesadaran bahwa setiap tindakan terekam akan mendorong kepatuhan pada prosedur. Kedua, sebagai alat pembuktian yang adil bagi tersangka. Rekaman kamera memberi kesempatan setara bagi warga negara untuk membela diri ketika terjadi dugaan pelanggaran dalam proses pemeriksaan.

Namun, keberadaan kamera saja tidak otomatis menjamin keadilan. Tantangan berikutnya adalah tata kelola akses dan integritas data rekaman. Siapa yang menyimpan? Berapa lama disimpan? Bagaimana menjamin rekaman tidak dimanipulasi atau “hilang” ketika dibutuhkan di persidangan? Tanpa aturan turunan yang ketat dan pengawasan independen, CCTV berpotensi hanya menjadi formalitas baru dalam sistem lama.

Meski demikian, langkah ini patut diapresiasi sebagai kemajuan penting. KUHAP baru memberi sinyal bahwa negara mulai bergeser dari paradigma kekuasaan aparat menuju paradigma perlindungan warga. Ruang pemeriksaan yang dulu gelap, kini diarahkan menjadi ruang terang oleh hukum, terang oleh akuntabilitas.

Pada akhirnya, keberhasilan KUHAP baru tidak hanya diukur dari teks undang-undangnya, tetapi dari keberanian negara memastikan setiap kamera benar-benar menyala, setiap rekaman benar-benar dapat diakses, dan setiap warga benar-benar terlindungi. Jika itu terwujud, maka hukum tidak lagi menakutkan, melainkan menghadirkan rasa keadilan yang nyata.(Jo)