JAKARTA
, Ifakta.co | Wajah Y (43) tampak pucat saat menceritakan ulang peristiwa yang mengubah hidupnya. Asisten Rumah Tangga (ART) itu mengaku mengalami kekerasan fisik dan tekanan psikis ketika seorang anak majikannya diambil secara paksa oleh pihak keluarga oknum jaksa DWLS Dalam pengakuannya, Kamis (18/12/2025).

Peristiwa itu terjadi tanpa surat penetapan pengadilan, tanpa pendamping aparat resmi, dan tanpa penjelasan hukum kepada korban. Yang ada, menurut Y, hanyalah kekerasan, paksaan dan ancaman.

Pasca kejadian, Y menjalani pemeriksaan medis. Hasil ronsen dan visum menunjukkan adanya luka memar di beberapa bagian tubuh seperti tangan dada dan perut. Namun luka paling dalam adalah trauma.

Iklan

Hasil Pemeriksaan

Hasil pemeriksaan tenaga medis mengungkapkan akar gigi yang rusak sehingga akan mempengaruhi saraf korban di kemudian hari yang berbahaya.

Salah Satu Bagian Tubuh Korban Yang Memar

“Peristiwa kekerasan saat pemaksaan pengambilan anak berinisial J (6) yang lalu di sekolah Penabur Intercultural School, Kelapa Gading, sangat mengganggu kegiatan saya sehari-hari, badan saya sakit total, tidak berani keluar rumah, jika keluar rumah anak saya K (23) selalu menemani, Saya bahkan takut dibunuh” ungkapnya penuh trauma.

Hingga kini, korban mengaku belum berani kembali bekerja dan memilih berpindah tempat demi keselamatan.

Menurut pengamat hukum pidana, pengambilan anak di luar mekanisme hukum berpotensi melanggar hukum, terlebih jika disertai kekerasan dan intimidasi dengan mengatasnamakan jabatan.

“Jika jabatan digunakan untuk menekan warga sipil, itu bukan hanya penganiayaan, tetapi bisa mengarah pada penyalahgunaan wewenang,” ujar seorang pakar hukum yang dimintai pendapat”

Hingga berita ini diterbitkan, pihak terduga dan institusi kejaksaan belum memberikan klarifikasi. Redaksi masih berupaya melakukan konfirmasi lanjutan.

Sementara itu, kasus ini membuka kembali persoalan klasik : kerentanan ART dalam pusaran konflik keluarga elite, di mana mereka kerap menjadi korban paling mudah disakiti dan paling sulit bersuara.

Di akhir wawancara, Y hanya berharap satu hal, yaitu keadilan.

“Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya bekerja dan menjaga anak. Tapi saya dipukul dan ditakuti karena jabatan orang lain,” katanya lirih.

Bagi Y, ini bukan sekadar soal luka di tubuh, melainkan tentang martabat manusia yang seharusnya setara di hadapan hukum”.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pengeroyokan dapat dijerat Pasal 170 KUHP dengan ancaman pidana penjara, terutama jika kekerasan dilakukan terang-terangan dan mengakibatkan luka berat. Aparat penegak hukum berkewajiban mengusut tuntas setiap dugaan pengeroyokan tanpa memandang jumlah pelaku, latar belakang sosial, maupun jabatan yang terlibat, demi memastikan keadilan bagi korban.