BANDA ACEH, ifakta.co — Momentum peringatan Milad Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 2025 kembali memunculkan suara-suara yang menuntut referendum dari kalangan muda Aceh.
Dorongan ini muncul di tengah kekecewaan publik terhadap lambatnya respons pemerintah pusat dalam menangani bencana besar yang melanda Aceh.
Muhammad Khalis, pengurus Organiasi Muda Seudang sekaligus mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Malikussaleh, menyatakan bahwa kegagalan negara dalam merespons banjir bandang yang menewaskan ratusan warga semakin memperkuat tuntutan untuk menentukan nasib sendiri.
Iklan
“Kalau ratusan orang meninggal saja tidak dianggap darurat, lalu Aceh ini apa di mata Jakarta? Apakah harus menunggu korban ribuan?” ujar Khalis, Kamis.
Ia menilai ketidaktegasan pemerintah dalam menetapkan status bencana nasional sebagai bentuk ketidakseriusan negara melindungi warganya.
Menurutnya, perdebatan mengenai status darurat ini hanya menunjukkan jauhnya perhatian pusat terhadap Aceh yang sedang menghadapi krisis kemanusiaan.
Selain persoalan penanganan bencana, Khalis menyinggung ketimpangan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam Aceh.
Ia menyebut selama ini pusat menikmati hasil bumi Aceh, namun ketika Aceh dilanda bencana, kehadiran negara justru dinilai sangat terlambat.
“Ketidakadilan ini membuat banyak anak muda bertanya, sampai kapan Aceh harus begini?” kata Khalis.
Ia menambahkan bahwa situasi ini menghidupkan kembali wacana lama yang tidak pernah benar-benar hilang dari ruang publik Aceh, yakni tuntutan referendum.
“Ini bukan provokasi.
Ini kenyataan di lapangan. Ketika negara gagal menghadirkan keadilan, masyarakat mulai melihat kembali opsi-opsi lain, termasuk tuntutan untuk merdeka. Itu suara yang hari ini kami sampaikan kembali,” tegasnya.
(Amin)



