PRABUMULIH, ifakta.co — Gelombang kemarahan publik di Kota Prabumulih kian membuncah. Apa yang seharusnya menjadi pesta demokrasi, justru berubah menjadi ajang bancakan uang rakyat.
Hasil audit independen membuka tabir gelap di balik penyelenggaraan Pilkada Prabumulih 2024. Nilai kerugian negara yang semula diperkirakan hanya Rp6,1 miliar, ternyata melonjak tajam menjadi Rp11.875.791.149 — nyaris Rp12 miliar uang rakyat lenyap tanpa jejak jelas.
Audit mengungkap modus penyimpangan yang busuk dan sistematis. Mulai dari kegiatan fiktif, penggunaan dana tanpa dasar hukum, hingga mark up brutal dalam laporan pertanggungjawaban.
Iklan
Dana hibah yang bersumber dari APBD Kota Prabumulih, yang seharusnya menjamin kelancaran demokrasi, justru disulap jadi ladang bancakan oknum penyelenggara pemilu itu sendiri.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri (Kejari) Prabumulih, Syafei, SH., MH., memastikan kasus ini telah naik ke tahap penuntutan.
“Hari ini, Kamis (6/11/2025), tim penyidik telah menyerahkan berkas perkara, tersangka, dan barang bukti kepada penuntut umum,” tegas Syafei.
Tiga pejabat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Prabumulih resmi menjadi tersangka. Mereka adalah MD (Ketua KPU), YA (Sekretaris KPU), dan SA (Pejabat Pembuat Komitmen/PPK).
Ketiganya dijerat dengan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ancaman hukuman berat menanti: maksimal 20 tahun penjara.
“Dari hasil audit, ditemukan penggunaan dana hibah tidak sah senilai Rp11,8 miliar lebih. Semua berkas segera kami limpahkan ke Pengadilan Tipikor Palembang,” ujar Syafei menegaskan.
Kasus ini menjadi potret buram demokrasi lokal — di saat rakyat Prabumulih berjuang menghadapi tekanan ekonomi, sejumlah pejabat justru berpesta pora dengan uang negara. Demokrasi tercoreng, kepercayaan publik terkoyak, dan wajah keadilan kembali diuji.
