TANGERANG, ifakta.co – Klarifikasi yang disampaikan Anggota DPR RI Komisi XII Fraksi Demokrat, Zulfikar Hamonangan, terkait pelarangan peliputan wartawan di Gedung Gyokai Desa Jeungjing, Kecamatan Cisoka, justru menimbulkan gelombang pertanyaan baru di kalangan publik dan insan pers.

Dalam pernyataannya, Zulfikar mengaku hadir hanya sebagai tamu undangan dalam kegiatan sosialisasi Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang digelar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ia menegaskan bahwa kegiatan Kundapil dirinya dilakukan di luar gedung, bersamaan dengan penyerahan satu unit bentor merek VIAR kepada warga RW 06 Perumahan Pesona.

Namun, klarifikasi tersebut dianggap publik tidak menyentuh akar persoalan: kenapa wartawan dilarang meliput kegiatan di area Gedung Gyokai? Padahal, apapun bentuk acaranya dan siapa pun penyelenggaranya, peliputan media merupakan hak yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tindakan pelarangan justru menimbulkan kesan kuat bahwa ada sesuatu yang hendak ditutupi dari publik.

Iklan

“Jika benar ada larangan liputan, itu jelas tidak berdasar dan menciderai semangat keterbukaan. Wartawan bekerja dilindungi undang-undang, dan pejabat publik seharusnya menjadi contoh dalam menghormati itu,” ujar seorang tokoh masyarakat Tangerang dengan nada kecewa.

Peristiwa ini seolah membuka kembali luka lama publik terhadap rekam jejak Zulfikar. Masyarakat Kabupaten Tangerang masih mengingat jelas bagaimana pesta demokrasi saat masa kampanye Zulfikar di Kecamatan Sukamulya sempat mencoreng wajah politik daerah. Kala itu, mobil berplat Polri diduga digunakan untuk kegiatan kampanye. Aksi tersebut menjadi sorotan media lokal hingga nasional, memicu dugaan pelanggaran aturan kampanye, dan disebut-sebut membuat Zulfikar tertekan secara mental karena disorot tajam publik setelah melakukan pembagian barang dan uang di jalanan menggunakan kendaraan berplat dinas.

Kini, bayang-bayang masa lalu itu kembali menghantamnya. Masyarakat menilai, sejak terpilih, janji politik Zulfikar tak banyak yang terbukti. “Banyak janji Bang Zul dulu waktu kampanye, tapi ujung-ujungnya omong kosong. Setelah duduk di DPR RI, silaturahmi hilang, bahkan tim khususnya, AMPD, dilupakan. Organisasi itu cuma dipakai alat politik,” ungkap salah satu warga Tangerang dengan nada kesal.

Kekecewaan juga datang dari internal Angkatan Muda Penggerak Demokrat (AMPD) sayap partai yang dulu menjadi tulang punggung pemenangan Zulfikar. Seorang sumber internal menyebutkan, tim sempat dijanjikan insentif bulanan Rp500 ribu jika Zulfikar terpilih. Namun, janji itu tak pernah terwujud hingga kini. “Banyak yang merasa diperalat. Setelah menang, semua ditinggalkan,” ujarnya lirih.

Tak hanya soal insentif, sejumlah warga juga mengungkapkan bahwa Zulfikar pernah menjanjikan berbagai program inisiatif untuk masyarakat, mulai dari bantuan UMKM, pelatihan kerja, hingga pemberdayaan pemuda dan perempuan. Namun, hingga kini, tak satu pun janji itu terlihat nyata di lapangan. Banyak yang menilai, janji-janji tersebut hanyalah ucapan manis yang diulang setiap kali mendekati masa kampanye.

Dengan berbagai catatan dan luka lama itu, publik menilai klarifikasi Zulfikar soal pelarangan wartawan hanya mempertegas pola lama: minim keterbukaan, lemah tanggung jawab moral, dan abai terhadap janji politik sendiri.

Pada akhirnya, masyarakat berharap agar para pejabat publik, terutama yang duduk di kursi parlemen tidak sekadar berlindung di balik klarifikasi, tetapi berani menunjukkan transparansi dan integritas. Sebab, suara rakyat bukan hanya soal janji, melainkan tentang realisasi nyata di bidang infrastruktur, pemberdayaan, ekonomi, hingga pengentasan kemiskinan.

(Sb-Alex)