Diduga melakukan pungli sebesar Rp 1,5 Juta kepada siswanya, SMKN 1 Kertosono terancam dilaporkan FAAM Nganjuk ke Kejaksaan Negeri Nganjuk.(Poto: istimewa).
NGANJUK, ifakta.co – Dunia pendidikan kembali tercoreng. Rekaman percakapan yang beredar luas di masyarakat mengungkap dugaan pungutan liar (pungli) di SMKN 1 Kertosono.
Dalam rekaman tersebut terdengar pembahasan soal pembayaran Rp1,5 juta per tahun yang disebut sebagai “sumbangan sekolah”, tetapi ternyata bersifat wajib dan dipungut setiap tahun, bukan sekali seperti yang sebelumnya dijanjikan kepada wali murid.
Iklan
Banyak orang tua merasa dibohongi dan diperas secara halus. Mereka mengaku awalnya diberi pengertian bahwa pembayaran hanya dilakukan sekali saat masuk, namun belakangan diketahui bahwa uang harus dibayar setiap tahun.
“Kalau dari awal dikatakan wajib tiap tahun, kami tentu pikir-pikir. Ini kok seperti dipaksa tapi dibungkus kata sumbangan,” keluh salah satu wali murid yang enggan disebut namanya.
Kasus ini kini ikut disoroti oleh Forum Aspirasi dan Advokasi Masyarakat (FAAM) Nganjuk. Mereka menyatakan siap melaporkan dugaan pungli ini ke Kejaksaan Negeri Nganjuk.
Ketua FAAM, Achmad Ulinuha, dengan tegas menyebut praktik tersebut melanggar hukum dan aturan pendidikan.
“Kalau sumbangan sudah ditetapkan nominal dan waktunya, itu bukan lagi sukarela. Itu pungutan, dan jelas melanggar hukum,” tegas Achmad.
FAAM berencana membawa rekaman suara, kesaksian wali murid, dan surat klarifikasi resmi kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur dan Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Nganjuk.
Achmad juga menghitung potensi kerugian yang dialami wali murid.
“Kalau tiap siswa diwajibkan membayar Rp1,5 juta, dan ada ratusan siswa, maka dana yang terkumpul bisa mencapai ratusan juta rupiah tiap tahun. Tanpa transparansi, ini rentan disalahgunakan,” tambahnya.
Padahal, Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dengan jelas menyatakan bahwa sumbangan hanya boleh bersifat sukarela, tidak boleh ditentukan nominal maupun tenggat waktu.
Artinya, jika pihak sekolah menetapkan jumlah dan batas waktu pembayaran, maka itu masuk kategori pungutan liar.
Pendidikan harusnya tempat menanamkan kejujuran, bukan ajang pemaksaan.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Jawa Timur. Sekolah yang seharusnya mendidik anak soal integritas dan kejujuran, justru diduga melakukan praktik yang sebaliknya.
Klaim Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur yang sebelumnya menyebut “pungli di sekolah negeri sudah tidak ada” kini terbantahkan.
“Faktanya, pungutan masih terjadi. Ini bukti pengawasan dinas sangat lemah,” kata Achmad.
Para wali murid kini berharap aparat penegak hukum tidak tinggal diam. Mereka meminta Kejari Nganjuk dan Dinas Pendidikan untuk menindak serius kasus ini, agar tidak ada lagi praktik pungli yang membebani orang tua di sekolah negeri.
Karena sekolah bukan tempat untuk memaksa orang tua membayar, tetapi tempat menanamkan nilai keadilan dan kejujuran untuk masa depan generasi bangsa, sehingga hal tersebut menurut FAAM dinilai jelas melanggar aturan.
(may).