JAKARTA, ifakta.co – Sore Jakarta Selatan meninggalkan bayang-bayang gelap dan debu jalanan. Kendaraan pekerja masih bergerak di jalan utama, tapi di balik hiruk-pikuk itu, bahaya nyata mengintai generasi muda: pil koplo, obat keras daftar G, beredar bebas tanpa pengawasan.

Ifakta.co turun langsung untuk menelusuri fenomena ini. Hasil investigasi mengejutkan: ratusan juta rupiah mengalir dari pedagang pil koplo ke sejumlah oknum perwira di Polres Jaksel . Dugaan ini terungkap setelah jurnalis ifakta menelusuri hampir seratus toko obat tak berizin di wilayah Jaksel.

“Satu kios toko obat menyetor ke oknum polres 2,5 jutaan, sedangkan di Jaksel ada sekitar 120 toko, tinggal kali aja berapa,” ujar sumber yang minta namanya dirahasiakan, Jumat (10/10). Uang ini diduga diberikan untuk memastikan penjualan pil koplo tetap lancar tanpa gangguan hukum.

Iklan

Sejumlah toko yang sempat ifakta datangi salah satunya antara lain : 

Di Jalan Raya Lenteng Agung No.18, RT 010 RW 004, Lenteng Agung — para pemuda bebas membeli pil koplo seolah tidak ada pengawasan.

Kemudian di Jalan Jeruk Raya Ruko No.3A, RT 005 RW 001, Jagakarsa — toko ini juga menjual pil koplo terbuka, tanpa izin resmi.

Lebih parah kagi di Kebayoran Baru — kabar mengejutkan menyebut salah satu toko pil koplo di wilayah ini dimiliki langsung oleh oknum polisi. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa aparat tak hanya diam, tapi aktif terlibat dalam rantai distribusi obat terlarang. Masih banyak lagi toko-toko serupa yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta Selatan.

Oknum polisi yang seharusnya menjadi benteng hukum justru diduga menjadi bagian dari mafia pil koplo. Mereka bukan sekadar abai terhadap undang-undang, tetapi mengatur sistem agar obat terlarang ini terus beredar, sambil menerima setoran rutin dari pedagang.

Dampak peredaran pil koplo ini ke generasi muda sangat mengkhawatirkan.

“Bagaimana anak-anak muda bisa berkembang, kalau aparat yang seharusnya melindungi justru memberi peluang longgar masuknya psikotropika?” ujar In (40), warga Kebayoran Baru.

Siti (28), warga Jagakarsa, menambahkan, kalau ini dibiarkan, bukan cuma remaja yang rugi. Semua masyarakat jadi korban sistem yang korup.

Investigasi ifakta.co juga menemukan pola transaksi yang sistematis: hampir setiap pedagang pil koplo membayar ‘biaya langganan’ ke oknum aparat agar tetap bisa berjualan tanpa takut ditindak.

Nominal yang beredar pun tidak main-main: dari 2,5 juta per toko per bulan, dikalikan puluhan toko, diduga ratusan juta rupiah mengalir ke kantong oknum aparat.

Fenomena ini menegaskan bahwa sistem hukum di Jakarta Selatan sedang dijarah dari dalam. Aparat yang seharusnya menegakkan hukum, malah menjadi bagian dari rantai distribusi obat terlarang.

Generasi muda kini berada di persimpangan: mereka menghadapi bahaya nyata pil koplo, sementara oknum polisi membuka jalan lebar bagi peredaran obat terlarang.

Ifakta.co akan terus menelusuri fakta-fakta di balik dugaan keterlibatan aparat di kepolisian Jakarta Selatan menelisik lebih dalam siapa saja yang menikmati keuntungan dari peredaran pil koplo, demi transparansi, keadilan, dan masa depan generasi muda Jakarta Selatan.

(my/sib-lex/jo)