JAKARTA, Ifakta.co | Dunia teknologi kembali diguncang dengan pernyataan terbaru CEO OpenAI, Sam Altman. Dalam sebuah forum internasional, ia mengungkapkan rencana membangun fasilitas yang mampu menghasilkan satu gigawatt infrastruktur AI baru setiap minggu. Visi ini terdengar futuristik, namun juga menimbulkan pertanyaan besar: apakah dunia siap menghadapi “pabrik AI” berskala energi nuklir?

Mengapa Infrastruktur AI Jadi Isu Mendesak?

Kebutuhan daya komputasi (compute) untuk melatih dan menjalankan model kecerdasan buatan berkembang pesat. Setiap generasi AI baru, seperti GPT-4 hingga GPT-5, membutuhkan server, chip, dan energi dalam jumlah luar biasa. Menurut sejumlah analis, pelatihan model AI raksasa saat ini bisa mengonsumsi listrik setara dengan pasokan energi sebuah kota kecil.

Iklan

Altman menekankan, tanpa infrastruktur dalam skala masif, manfaat AI akan terbatas pada segelintir pihak. “Jika benar AI bisa menjadi setara dengan kebutuhan dasar, maka akses yang merata hanya mungkin bila kita membangun kapasitas energi yang belum pernah ada sebelumnya,” ujarnya.

Gigawatt: Angka yang Bukan Main-Main

Satu gigawatt (GW) setara dengan kapasitas energi yang bisa menghidupi lebih dari 700.000 rumah tangga. Bayangkan jika OpenAI benar-benar bisa memproduksi infrastruktur sebesar itu setiap minggu. Maka dalam setahun, kapasitas yang tersedia bisa menyaingi pembangkit listrik nasional di sejumlah negara berkembang.

Dengan skala ini, rencana OpenAI bukan sekadar pembangunan pusat data, melainkan transformasi industri energi dan teknologi global.

Tantangan Energi dan Lingkungan

Meski ambisius, proyek “pabrik AI” menimbulkan kekhawatiran. Dari mana energi sebesar itu akan diperoleh? Apakah akan bergantung pada bahan bakar fosil, atau justru mendorong investasi besar-besaran di energi terbarukan?

Pakar lingkungan menilai, bila tidak disertai strategi hijau, infrastruktur AI bisa menjadi penyumbang emisi karbon yang signifikan. Namun, Altman dikenal sebagai pendukung energi nuklir generasi baru dan teknologi fusi, sehingga tidak menutup kemungkinan OpenAI akan menjalin kerja sama lintas industri energi.

Dampak Ekonomi Global

Jika berhasil, rencana ini bisa membuka peluang investasi dan lapangan kerja besar-besaran. Industri chip, manufaktur perangkat keras, hingga logistik energi akan terdorong berkembang. Negara-negara dengan kapasitas energi terbarukan yang melimpah berpotensi menjadi mitra strategis OpenAI.

Di sisi lain, persaingan global dalam membangun infrastruktur AI bisa semakin tajam. Amerika Serikat, Tiongkok, Uni Eropa, hingga negara-negara Asia Tenggara kemungkinan akan berlomba menarik investasi demi menjadi pusat komputasi AI dunia.

Arah Baru Peradaban Digital

Lebih jauh, proyek ini memberi sinyal bahwa AI bukan lagi sekadar produk software, melainkan sebuah industri setara listrik, transportasi, atau telekomunikasi. Infrastruktur AI dalam skala gigawatt bisa menjadi fondasi bagi aplikasi-aplikasi revolusioner: dari pendidikan personalisasi untuk miliaran orang, layanan kesehatan prediktif, hingga sistem pemerintahan berbasis data real-time.

Dengan kata lain, OpenAI berusaha memposisikan diri bukan hanya sebagai perusahaan teknologi, tapi sebagai pembangun peradaban digital.

Ambisi “pabrik AI” OpenAI menandai babak baru dalam sejarah teknologi. Jika sukses, dunia mungkin akan melihat AI benar-benar menjadi layanan publik mendasar. Namun jalan menuju sana dipenuhi tantangan: energi, lingkungan, geopolitik, hingga regulasi global.

Seperti halnya revolusi industri dulu, pertanyaan besarnya bukan sekadar bisakah rencana ini terwujud, melainkan siapkah dunia menerima dampak yang akan lahir dari sebuah peradaban berbasis kecerdasan buatan?.(FA)