JAKARTA, ifakta.co – Istilah hypersex atau hiperseksual kerap digunakan untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang memiliki dorongan seksual berlebihan, sulit dikendalikan, dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Lantas, apakah hypersex bisa dikategorikan sebagai penyakit?
Perlu dicatat, hiperseksual berbeda dengan libido tinggi. Dorongan seksual wajar masih bisa dikontrol, sedangkan pada hypersex, seseorang merasa terpaksa melampiaskannya meski sadar perilaku itu bisa berdampak buruk bagi dirinya maupun orang lain.
Dalam dunia medis, hypersex dikenal sebagai compulsive sexual behavior disorder. WHO (World Health Organization) melalui ICD-11 (International Classification of Diseases) mengakui kondisi ini sebagai gangguan kontrol impuls, bukan perilaku seksual normal.
Iklan
Gejala yang Umum Dialami:
- Dorongan seksual berlebihan yang sulit dikendalikan.
- Sering mencari pornografi atau masturbasi.
- Muncul rasa bersalah setelah berhubungan seks, tapi tetap mengulanginya.
- Aktivitas, pekerjaan, dan hubungan sosial terganggu.
- Perilaku seksual dilakukan meski berisiko, misalnya berganti pasangan tanpa pengaman.
Faktor Pemicu Hypersex:
- Ketidakseimbangan zat kimia otak (dopamin & serotonin).
- Trauma masa lalu, seperti kekerasan seksual.
- Gangguan mental lain, misalnya depresi atau bipolar.
- Paparan pornografi berlebihan.
Cara Penanganan Hypersex:
- Psikoterapi, misalnya terapi kognitif-perilaku.
- Obat-obatan untuk menyeimbangkan kimia otak.
- Dukungan sosial dari keluarga atau kelompok pendamping.
- Membatasi akses terhadap pemicu seperti pornografi.
Hypersex bukan penyakit menular, tetapi termasuk gangguan psikologis nyata yang bisa merusak kualitas hidup bila tidak ditangani. Jika seseorang merasa dorongan seksualnya tidak terkendali hingga mengganggu aktivitas sehari-hari, disarankan segera berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.
(jo/jo)