JAKARTA, ifakta.co – Delapan puluh tahun sudah Indonesia merdeka. Generasi berganti, bendera tetap berkibar, lagu kebangsaan tetap bergema setiap 17 Agustus. Namun, di balik semua simbol itu, ada pertanyaan yang sulit dihindari: benarkah kita sudah merdeka sepenuhnya?
Bagi banyak rakyat, kemerdekaan masih terasa semu. Bukan karena senjata penjajah, tapi karena jerat korupsi yang membelit di hampir setiap sendi kehidupan. Di negeri yang katanya “berdaulat”, terlalu sering kita menyaksikan pelayanan publik berubah menjadi ladang pemerasan, dan kebijakan pangan dikendalikan oleh segelintir orang yang hanya mengejar untung.
Edisi Agustus 2025 ini, Ifakta kembali menyoroti wajah buram itu. Dari kasus jalur cepat pembuatan paspor di kantor imigrasi — yang mestinya memberi kemudahan, malah menjadi “pintu tol” ilegal bagi mereka yang punya uang — hingga praktek mafia beras oplosan yang membuat rakyat tekor hingga triliunan rupiah per tahun. Dua kisah yang berbeda sektor, namun sama-sama lahir dari rahim kerakusan.
Iklan
Korupsi di jalur paspor menunjukkan betapa bobroknya sistem yang seharusnya melindungi warganya. Di balik loket dan senyum petugas, ada tarif tak resmi yang harus dibayar demi layanan cepat. Yang tak mampu membayar, dibiarkan menunggu, terjebak birokrasi yang dibuat berbelit. Layanan negara berubah menjadi komoditas dagangan.
Di sisi lain, mafia beras oplosan mempermainkan kualitas dan harga pangan pokok. Mereka mengoplos beras demi keuntungan cepat, mengorbankan kesehatan, menipu konsumen, dan memukul petani. Ironisnya, praktik ini berlangsung lama tanpa penindakan yang tegas. Bagi mereka yang duduk nyaman di lingkaran kekuasaan ekonomi, rakyat hanyalah angka statistik, bukan manusia yang harus dijamin haknya.
Inilah paradoks kemerdekaan kita. Secara politik, kita bebas memilih pemimpin. Secara hukum, kita memiliki UUD 1945 yang menjamin keadilan sosial. Namun secara nyata, rakyat masih terbelenggu oleh kekuasaan yang disalahgunakan. Korupsi bukan lagi sekadar kejahatan individu, tapi sudah menjadi ekosistem lengkap: punya jaringan, punya pelindung, bahkan punya strategi bertahan.
Merdeka seharusnya berarti bebas dari ketakutan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Tapi selama rakyat masih harus membayar “upeti” untuk layanan publik, selama harga pangan ditentukan oleh mafia, selama pejabat yang tertangkap tetap bisa kembali berkuasa, kemerdekaan itu hanyalah upacara tahunan yang kehilangan makna.
Ifakta percaya, kemerdekaan sejati hanya akan lahir jika negara berani memutus rantai korupsi — dari tingkat tertinggi hingga terendah. Perayaan kemerdekaan tak seharusnya hanya soal bendera dan parade, tapi juga komitmen nyata untuk membersihkan negeri dari pengkhianat bangsa yang berselimut jabatan. Sebab kemerdekaan tanpa integritas hanyalah kemasan kosong, dan rakyat akan terus menjadi tawanan di tanahnya sendiri.
(my/my)