JAKARTA, Ifakta.co | Sebuah ironi di negeri maritim, jika menyimak buku sejarah perjalanan manusia SAPIENS yang ditulis sejarahwan ternama Yuval Noah Harari. Dalam buku tersebut Noah Harari menulis, desa nelayan pertama di dunia dan teknologi penangkapan ikan pertama ditemukan pada masyarakat yang menghuni gugusan pulau di sebelah utara benua Australia, yang di kemudian hari bernama Nusantara dan kemudian Indonedia. Maka dapat diasumsikan budaya Maritim merupakan budaya tertua di negeri ini.
Sebuah pertanyaan reflektif muncul, mengapa negeri dengan budaya otentik maritim, tetapi justru para nelayannya sebagai penghuni wilayah atau kawasan pesisir pantai justru mengalami berbagai permasalahan yang seolah berkepanjangan?.
Kompleks, problem struktural dan kultural yang menimpa. Seperti yang dialami oleh para nelayan yang tergabung di Himpunan Nelayan Tradisional Kamal Muara (HNT KM) Jakarta Utara.
Iklan
“Berbagai permasalahan dialami para nelayan kami, dari hal-hal seperti berbagai kasus di Dermaga, Pengedokan (docking) Perahu, Pembangunan/revitalisasi TPI (Tempat Pelelangan Ikan) yang kurangnya perhatian dari pemerintah, hingga sangat diharapkan oleh para nelayan sini, terkait mesti dilakukannya Normalisasi (pengerukan lumpur) kali sebagai akses perahu para nelayan,” kata Yulla, selaku Ketua HNT KM saat memberikan keterangan pers di Kantornya yang terletak di Jalan Hamjuni Raya RT.004/RW.04, Kamal Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta pada, Jum’at (25/07/2025).
Dalam penuturannya, Yulla juga sangat berharap adanya perhatian dari pemerintah setempat, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dan stakeholder terkait, bagi keberlangsungan hidup para nelayan di kawasan Kamal Muara, Penjaringan Jakarta Utara.
“Selain juga tentunya, kalau ada program-program pemerintah yang hubungannya dengan Nelayan, kami mohon tolong pemerintah setempat kiranya dapat melibatkan HNT KM, dan Pemerintah Daerah dan Pusat mohon kami di libatkan. Selain juga terkait adanya Koperasi Merah Putih, tolong para pengurus HNT KM dan nelayan Kamal Muara bisa di ikut-sertakan,” ujarnya.
“Ada juga sebuah tradisi yang terus dilestarikan oleh sebagian masyarakat pesisir adalah peringatan hari nelayan (6 April) dengan melabuhkan sesajen ke laut sebagai harapan hasil tangkapan nelayan semakin berlimpah dan memakmurkan kehidupan para nelayan yang tergabung di Himpunan Nelayan Tradisional Kamal Muara (HNT KM),” tegas Yulla.
“Perjuangan nelayan kami merupakan bukan bertujuan hanya sekedar euphoria (misal saat perayaan Nelayan), justru sebagai wujud mengapresiasi jasa para nelayan Indonesia dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein dan gizi bagi seluruh lapisan masyarakat. Sekaligus sebagai pengingat untuk bersyukur dan memajukan kesejahteraan para nelayan di kawasan pesisir pantai Kamal Muara,” imbuhnya.
Yulla juga sangat mengharapkan perhatian pemerintah secara konkret terkait TPI Kamal Muara, dan area akses jalurnya tentunya juga dengan fasilitas pendukung dalam aktifitas jual beli serta pelelangan ikan. Meliputi berbagai aktifitas, transaksi nelayan, aktivitas nelayan, aktivitas pedagang ikan, dan aktivitas juru lelang.
“TPI juga menjadi tempat berkumpulnya para pelaku usaha perikanan seperti pengumpul dan pengecer ikan. Dalam kegiatan transaksi jual beli ikan: Ini mencakup semua proses jual beli, mulai dari penawaran hingga pembayaran. Transaksi tawar menawar harga ikan, pembeli dan penjual bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan harga terbaik. Aktivitas perikanan sebagai istilah umum yang mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan perikanan, termasuk di TPI,” ucapnya.
Yulla juga menjelaskan TPI merupakan tempat penyaluran ikan, berperan dalam menyalurkan hasil tangkapan nelayan ke berbagai pihak. “Pemasaran hasil tangkapan: TPI membantu nelayan memasarkan hasil tangkapan mereka. Sebagai pusat kegiatan ekonomi perikanan, tempat yang vital dalam perputaran ekonomi di sektor perikanan. Hingga penyelenggaraan lelang ikan yang merupakan proses inti di TPI, di mana ikan dilelang kepada para pembeli,” papar Yulla.
Seperti halnya, juga lokasi area pengedokan (Docking perahu), lanjut Yulla, yang merupakan proses memindahkan perahu atau kapal dari air ke atas dok (galangan kapal) untuk dilakukan perawatan, perbaikan, atau pembangunan konstruksi kapal. “Proses ini tentunya sangat penting bagi para nelayan kami, untuk bisa memastikan perahu atau kapal nelayan tetap dalam kondisi prima dan aman untuk berlayar,” tuturnya.
“Di dermaga Kamal Muara, pengedokan (docking) kapal jenis Slipway yang dibangun disini, yakni kapal ditarik ke atas dok (galangan kapal) menggunakan rel yang menghadap ke laut dan seharusnya dengan mesin derek. Ironisnya, seperti yang dapat dilihat docking yang dibangun tidak ada gunanya, seolah hanya buang-buang anggaran saja,” pungkasnya. (FA)