JAKARTA, ifakta.co – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai unjuk taring ke level yang lebih tinggi. Tak lagi cuma menyasar pelaksana teknis, kini para direksi BUMN pun ikut dibidik. Target terbarunya: pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di Bank Rakyat Indonesia (BRI) senilai Rp2,1 triliun yang diduga merugikan negara hingga Rp744 miliar.

Lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka. Dua di antaranya adalah mantan petinggi BRI: Catur Budi Harto (eks Wakil Direktur Utama) dan Indra Utoyo (eks Direktur TI & Digital, kini Dirut Allo Bank). Sejumlah nama lain seperti Dedi Sunardi (SEVP Manajemen Aset dan Pengadaan BRI), Elvizar (Dirut PT Pasifik Cipta Solusi), serta Rudy Suprayudi (Dirut PT Bringin Inti Teknologi—anak usaha Dana Pensiun BRI), ikut terseret.

Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, korupsi ini terjadi sepanjang 2020–2024. “Diduga kerugian negara mencapai Rp700-an miliar,” katanya, Selasa (1/7).

Iklan

Yang membuat kasus ini makin menjijikkan adalah praktik gratifikasi dalam bentuk unik: bukan cuma uang, tapi juga sepeda dan… dua ekor kuda! Catur menerima sepeda dan kuda senilai Rp525 juta dari Elvizar, sebagai imbalan atas proyek yang diarahkan padanya. Dedi

Dalam prosesnya, Catur Budi dan Elvizar telah “berkomitmen” sejak 2019. Elvizar akan menjadi vendor pengadaan EDC bekerja sama dengan Rudy Suprayudi. Meski pengadaan seharusnya terbuka, Catur mengarahkan agar dua perusahaan itu memenangkan tender. Demi memuluskan skenario, dokumen Term of Reference (TOR) bahkan dimodifikasi agar masa uji teknis dibatasi maksimal dua bulan. Semua diarahkan untuk menguntungkan dua perusahaan tadi.

Merek yang diajukan pun hanya dua: Sunmi P1 4G (oleh Elvizar) dan Verifone (oleh Rudy). Padahal, vendor lain seperti Ingenico, Nira, dan Pax tak diberi kesempatan. Proses uji kelayakan (proof of concept) dilakukan tertutup.

Tak hanya itu. Harga Perkiraan Sendiri (HPS) disusun bukan berdasarkan data resmi dari produsen, melainkan dari dua vendor tersebut. Alhasil, proyek senilai Rp2,1 triliun itu jatuh ke tangan mereka.

“Seluruh proses ini sudah di-setting. Semuanya terjadi setelah ada kickback,” tegas Asep Guntur Rahayu, Plt Deputi Penindakan KPK.

Penting dicatat: ini pertama kalinya KPK secara eksplisit menyasar direksi aktif atau eks-direksi BUMN dalam kasus pengadaan. Biasanya, direksi lolos karena prosedur formal tak menyebut keterlibatan mereka langsung. Namun kali ini, KPK menggunakan pasal gratifikasi sebagai pintu masuk.

Sinyal bahaya pun muncul bagi semua direksi BUMN lainnya. Apalagi, Undang-Undang BUMN Nomor 1 Tahun 2025 sempat menimbulkan kontroversi karena tidak mengklasifikasikan direksi/komisaris BUMN sebagai penyelenggara negara, yang berarti bisa lolos dari jerat KPK.

Namun menurut anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta, semangat pemberantasan korupsi tak boleh dikebiri. “BUMN itu memakai dana publik. Seharusnya tetap bisa dijerat,” tegasnya.

Skandal ini menjadi ujian pertama bagi Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang kini mengelola seluruh aset BUMN. Jika di BRI saja pengadaan bisa dikuasai segelintir vendor dengan restu direksi, bagaimana dengan BUMN lain?

“Kami tidak akan membiarkan korupsi terjadi di institusi kami. Jika ada penyimpangan, itu murni aksi individu,” kata Agustya Hendy Bernadi, Corporate Secretary BRI, Kamis (10/7).

Tapi publik jelas tak puas. Pengawasan internal BRI dinilai rapuh. Laporan keuangan yang selalu moncer ternyata menjadi kamuflase sempurna menutupi praktek busuk di dalamnya.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa seluruh Himbara tetap diawasi secara ketat, meski berada di bawah Danantara. “Prinsip kehati-hatian dan tata kelola wajib dijaga,” ujarnya.

Namun bagi DPR, pengawasan yang dilakukan OJK dinilai belum cukup. Anggota Komisi XI, Amin Ak, menyebut kasus ini sebagai cermin ambruknya sistem pengendalian internal (SPI) dan manajemen risiko di BRI. “Nilai kerugian ini setara 5 persen dari laba bersih BRI Q1 2025. Ini bukan perkara kecil,” tegasnya.

Sebagai bank dengan status systemically important, skandal semacam ini bisa mengguncang kepercayaan publik dan bahkan stabilitas sistem keuangan.

Seementara itu, Peneliti ICW Egi Primayogha menyebut korupsi pengadaan barang dan jasa (PBJ) adalah akar masalah di banyak lembaga, termasuk BUMN. “Modusnya sama: mark-up harga, vendor titipan, kickback, bahkan laporan fiktif,” ujarnya.

Egi juga mengkritik Perpres PBJ 2025 yang justru menaikkan ambang batas pengadaan langsung tanpa tender hingga Rp100 miliar. “Ini membuka jalan lebar-lebar untuk korupsi,” tegasnya.

Pesan utama dari skandal ini sederhana tapi keras: bersih-bersih BUMN bukan pilihan, tapi kewajiban. Jika tidak dimulai dari sekarang, maka setumpuk rencana bisnis, laba besar, dan investasi strategis hanya akan jadi bancakan para perompak berkedok eksekutif.

Danantara harus sadar: game pertamanya dimulai dengan pertaruhan reputasi. Skandal BRI ini adalah sinyal. Jika mereka gagal bersih-bersih sejak awal, maka seluruh sistem akan runtuh dari dalam.
(my/my)