Washington, ifakta.co — Presiden Donald Trump, mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan memberlakukan tarif sebesar 19% atas barang-barang yang diimpor dari Indonesia (15/7). Keputusan tersebut diambil sebagai bagian dari perjanjian dagang baru antara kedua negara yang disebut Trump sebagai langkah untuk “melindungi industri Amerika dan mengembalikan lapangan kerja ke dalam negeri.”
Dalam pernyataannya di sebuah kampanye di Ohio, Trump menegaskan bahwa tarif tersebut mencakup berbagai produk manufaktur dan komoditas yang selama ini menjadi ekspor utama Indonesia ke AS, termasuk tekstil, alas kaki, dan elektronik ringan. “Kita tidak bisa terus membiarkan negara-negara seperti Indonesia mendapat keuntungan dari perdagangan bebas yang tidak adil,” ujar Trump di hadapan para pendukungnya. “Tarif ini adalah bagian dari kesepakatan baru yang lebih adil bagi rakyat Amerika.”
Meski Trump menyebut perjanjian ini sebagai keberhasilan dalam renegosiasi perdagangan, para pengamat menilai kebijakan ini berisiko memicu ketegangan dagang baru antara Washington dan Jakarta. Pemerintah Indonesia hingga saat ini belum mengeluarkan pernyataan resmi, namun sejumlah pelaku industri menyuarakan kekhawatiran atas dampaknya terhadap ekspor nasional dan potensi terganggunya hubungan bilateral.
Iklan
Langkah ini sejalan dengan strategi dagang Trump yang selama ini mengedepankan pendekatan proteksionis. Dalam masa jabatannya sebelumnya, ia juga memberlakukan tarif tinggi pada produk dari China, Meksiko, dan Uni Eropa, dengan alasan serupa.
Ekonom memperkirakan tarif 19% ini dapat memicu kenaikan harga barang di pasar AS, terutama untuk produk-produk konsumsi yang banyak dipasok dari Indonesia. Di sisi lain, dampaknya terhadap neraca perdagangan Indonesia dan ketahanan industri dalam negeri masih akan tergantung pada respons pemerintah serta adaptasi eksportir nasional.
Kebijakan ini muncul menjelang konvensi Partai Republik dan dianggap sebagai bagian dari strategi Trump untuk memperkuat basis pemilihnya di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan perlambatan ekonomi global. (Jo)