JAKARTA, Ifakta.co – Seiring kemajuan teknologi yang semakin pesat, sejumlah perusahaan global dan nasional mulai melakukan langkah efisiensi operasional melalui otomatisasi. Akibatnya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terelakkan. Otomatisasi yang dulunya dipandang sebagai alat bantu kini berubah menjadi ancaman nyata bagi tenaga kerja manusia, terutama di sektor-sektor yang padat karya.

Dalam beberapa bulan terakhir, berbagai perusahaan di sektor manufaktur, logistik, perbankan, hingga layanan pelanggan telah mengumumkan pengurangan jumlah karyawan. Keputusan ini kerap dikaitkan dengan penerapan teknologi otomatisasi, kecerdasan buatan (AI), dan robotik yang dinilai lebih efisien, akurat, dan hemat biaya dalam jangka panjang.

Contohnya, beberapa pabrik otomotif kini menggunakan robot untuk proses perakitan dan pengelasan. Di sektor keuangan, chatbot menggantikan peran customer service, dan sistem digital mengambil alih pekerjaan analis keuangan hingga pemrosesan kredit. Bahkan di sektor ritel, kasir manusia digantikan oleh mesin kasir otomatis dan aplikasi pemesanan mandiri.

Iklan

Meski efisiensi menjadi alasan utama, langkah ini menuai kekhawatiran besar di kalangan pekerja. Banyak yang khawatir bahwa transformasi digital ini akan menciptakan “pengangguran teknologi”, di mana kecepatan perkembangan teknologi tidak sebanding dengan kesiapan tenaga kerja untuk beradaptasi atau beralih profesi.

Pengamat ketenagakerjaan menilai bahwa pemerintah dan pelaku industri harus lebih proaktif dalam mengantisipasi dampak ini. Pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling) menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan para pekerja tetap relevan di tengah era digitalisasi.

Tanpa kebijakan yang berpihak pada pekerja, otomatisasi bukan hanya akan memangkas biaya, tetapi juga membuka jurang ketimpangan sosial yang lebih dalam. Perlu ada sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan lembaga pendidikan untuk menciptakan transformasi digital yang inklusif dan berkeadilan. (Jo)