Jembatan penghubung antar desa di Jati Getih yang rusak parah dan tak dapat difungsikan meski baru selesai dikerjakan 6 bulan yang lalu.(Poto: istimewa).
NGANJUK ifakta.co – Di tengah sorotan pembangunan infrastruktur, kerusakan jembatan di Dusun Jati Getih, Desa Sanggrahan, Kecamatan Gondang, menjadi bukti nyata lemahnya pengawasan proyek publik. Jembatan penghubung antar desa ini amblas di kedua sisi meski baru diperbaiki belum genap setahun.
Pantauan di lokasi menunjukkan kondisi memprihatinkan. Besi penyangga melengkung, batu penahan retak dari atas hingga ke bawah, dan badan jembatan nyaris tidak layak dilalui kendaraan.
Iklan
Warga menilai ini bukan sekadar kerusakan biasa, melainkan indikasi proyek dikerjakan tanpa mengindahkan standar mutu. Mereka menyoroti kelalaian kontraktor dan lemahnya pengawasan dari Pemkab Nganjuk, yang hingga kini belum mengambil langkah konkret.
“Enam bulan setelah diperbaiki, jembatan ini mulai rusak. Sekarang nyaris runtuh. Kami rakyat kecil cuma bisa pasrah. Tapi sampai kapan?” — ungkap Tiyar, warga sekitar.
Kerusakan jembatan ini memperkuat dugaan bahwa proyek asal jadi masih menghantui infrastruktur daerah. Warga mempertanyakan sejumlah aspek, termasuk jumlah anggaran, kontraktor pelaksana, dan pihak pengawas proyek.
Jika dana berasal dari APBD, maka publik berhak tahu:
- Berapa besar nilai anggaran?
- Siapa kontraktornya?
- Bagaimana sistem pengawasan teknisnya?
Transparansi dan audit terbuka menjadi tuntutan mendesak. Masyarakat menolak diam saat kualitas pembangunan jembatan tersebut dipertanyakan.
Jembatan Jati Getih bukan hanya akses penghubung antardesa, melainkan urat nadi ekonomi warga. Setiap hari, kendaraan pengangkut hasil pertanian melewati jalur ini. Kini, jalur terputus, memaksa warga memutar arah yang lebih jauh, menambah biaya angkut, dan membuat hasil panen terlambat sampai pasar.
“Harga turun karena panen telat dikirim. Jalan memutar tambah bensin, tambah rugi. Tapi siapa yang peduli, kami merasa sangat terpukul jembatan baru kok bisa mau ambruk?”, keluh seorang petani lokal.
Anehnya, hingga kini belum ada langkah nyata dari Pemerintah Kabupaten Nganjuk. Warga bahkan harus memasang portal besi secara swadaya demi mencegah kendaraan berat melintas dan mencegah jembatan ambruk total.
Kegagalan struktur jembatan ini menambah panjang daftar proyek bermasalah di Nganjuk. Banyak pihak menilai bahwa kerusakan ini mencerminkan gagalnya sistem pengawasan dan lemahnya tanggung jawab pengelolaan anggaran.
Jika tidak segera ada tindakan nyata, masyarakat berpotensi terus menjadi korban dari pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Elemen masyarakat sipil mendesak agar segera dilakukan audit teknis independen terhadap proyek ini. Jika ditemukan kejanggalan, maka harus ada langkah hukum terhadap pihak terkait.
“Ini bukan cuma batu yang pecah, tapi kepercayaan publik juga ikut retak. Kalau satu jembatan saja gagal, bagaimana proyek-proyek lainnya?”
Kerusakan jembatan ini bukan hanya persoalan teknis, melainkan cermin dari buruknya tata kelola pembangunan. Pemkab Nganjuk harus menjawab dengan tindakan nyata, bukan sekadar narasi.
(may)