SURABAYA, ifakta.co – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 sebagai “rumor tanpa bukti” menuai gelombang reaksi keras dari berbagai pihak. Bukan hanya dianggap insensitif, komentar itu juga dinilai mencederai upaya panjang bangsa ini dalam membangun rekonsiliasi dan keadilan sejarah.
Salah satu suara lantang datang dari Hartanto Boechori, Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI), yang secara terbuka menyampaikan dukungan terhadap sikap Ipong Hembing Putra, Ketua Umum Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) sekaligus Ketua Departemen Hukum dan HAM PJI Jabodetabek.
“Anggota saya itu, dr. Ipong, menyesalkan keras pernyataan Fadli Zon yang membuka luka lama terkait tragedi kemanusiaan Mei 1998, khususnya soal kekerasan terhadap perempuan keturunan Tionghoa,” ujar Hartanto, Kamis (26/6).
Iklan
Menuntut Empati, Bukan Pengingkaran
Tragedi Mei 1998 tak sekadar catatan kelam dalam sejarah Indonesia, tapi juga luka terbuka yang masih dirasakan oleh para penyintas dan keluarga korban hingga hari ini. Oleh sebab itu, narasi-narasi yang menggampangkan atau bahkan menyangkal kejadiannya dinilai sangat berbahaya.
“Pernyataan Fadli Zon adalah bentuk insensitivitas serius. Ia bukan hanya menyakiti para penyintas, tapi juga melecehkan upaya rekonsiliasi yang telah dibangun selama dua dekade,” tegas Hartanto.
Sebagai Menteri Kebudayaan, Fadli Zon dinilai seharusnya menjadi penjaga warisan sejarah bangsa—bukan justru memperkeruhnya dengan narasi yang tidak berdasar dan menyakitkan hati korban.
Desakan Permintaan Maaf dan Evaluasi Jabatan
PJI dan PITI menuntut agar Fadli Zon segera mengevaluasi sikapnya dan menyampaikan permohonan maaf terbuka, tulus, dan tanpa syarat kepada seluruh rakyat Indonesia, terutama kepada komunitas Tionghoa serta para penyintas dan keluarga korban tragedi 1998.
“Jika permintaan maaf itu tidak dilakukan, saya minta Presiden RI mempertimbangkan secara tegas pencopotan Fadli Zon dari jabatannya sebagai Menteri Kebudayaan,” ujar Hartanto.
Menurutnya, bangsa ini butuh pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan empatik dalam menyikapi sejarah kelam bangsanya.
Menjaga Ingatan Kolektif Bangsa
Hartanto juga menyerukan agar semua pihak, khususnya para tokoh publik, bijak dalam menyampaikan pernyataan—terutama menyangkut peristiwa sejarah yang menyentuh aspek kemanusiaan.
“Jangan buka lagi luka lama dengan narasi yang tidak berempati dan berpotensi memecah belah persatuan bangsa,” katanya.
Sebaliknya, ia menekankan pentingnya menjadi bagian dari penjaga memori kolektif, agar tragedi seperti Mei 1998 tidak pernah terulang kembali.
PJI, PITI, dan seluruh komponen bangsa yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan, menyatakan komitmennya untuk tetap berada di garis depan dalam menjaga kehormatan korban serta membela nilai-nilai kebhinekaan yang menjadi fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(Edi)