NGANJUK ifakta.co – Dalam rangka memperingati tahun baru Islam 1 Muharam 1445 Hijriyah / bulan Suro dalam hitungan kalender Jawa, Desa Ngetos yang di kenal dengan sebutan Bumi Ngatas Angin menggelar berbagai ritual kejawen yang tergabung dalam acara Festival Grebek Suro.
Grebeg Suro itu sendiri dilaksanakan sejak 19 Juli 2023 – 17 Agustus 2023 yang mana rangkaian acaranya terdiri dari Baritan, Kirab Pusaka dan Jamasan Pusaka, Kirab Reog, Sema’an Al-Quran, Nyadran, Kirab Larung Sengkolo, Kirab Budaya Agung dan Pemutaran Film.
Kirab Pusaka dan Jamasan Pusaka ini merupakan giat kedua yang dilaksanakan pada 22 Juli 2023 sekira pukul 09.00 Wib – selesai.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Pusaka – pusaka leluhur dari nenek moyang masyarakat Ngetos itu di arak dengan tabuhan Gending khas Jawa SDN 03 Ngetos yang diikuti oleh para Mpu – Mpu, Perangkat Desa Ngetos, Para pemuda dari berbagai perguruan Silat diantaranya PSHT, PSHW, PN, SH Winongo, KSPI dan para mahasiswa dari UIN Sunan Ampel dan juga UNISKA, serta masyarakat Ngetos.
Sesampai di Balai Desa Ngetos, pusaka kemudian di tempatkan di tempat penyucian dan siap untuk di sucikan dalam prosesi Jamasan.
Nampak hadir Camat Ngetos Teguh Ovi Andriyanto, SIP beserta unsur Forpimcam Ngetos dan para peserta kirab.
Dalam sambutannya Kepala Desa Ngetos Suwarno mengatakan jika Jamasan Pusaka merupakan acara tahunan yang sudah menjadi tradisi di desannya.
“Jamasan Pusaka ini merupakan wujud bahwa kami selalu uri – uri budaya dari para luluhur di Desa Ngatas Angin ini dimana hal ini sudah mendarah daging dan akan selalu kami lestarikan,” ucap Warno.

Ia juga menjelaskan jika tak cukup sampai disini, namun dalam bulan Suro ini banyak sekali ritual – ritual yang akan dilaksanakan masyarakat Ngetos.
Warno mengungkapkan jika pendanaan festival Grebeg Suro ini berasal dari dana ADD dan juga sumbang sih dari warga yang dengan penuh kesadaran turut berpartisipasi demi suksesnya acara Grebek Suro.
“Kami mengucapkan terimakasih pada semua pihak terutama masyarakat Ngetos atas partisipasi dan antusiasnya untuk turut mensukseskan acara demi acara yang ada di Festival Grebeg Suro ini,”tandasnya.

Dikesempatan yang sama Camat Ovi juga berharap dari ritual Jamasan Pusaka tersebut dapat diambil hikmahnya sebagai tauladan yang patut untuk di contoh.
“Jamasan Pusoko lan kirab meniko damel tetenger menawi ing Desa Ngetos kagungan Budoyo ingkang luhur, mboten upocoronipun mawon ingkang diemut, nanging lelakune poro leluhur monggo dilampahaken mulai corone mikir, corone mbatin, corone nglampai, mugi – mugi tatanan ingkang sae meniko di uri- uri kanti tumoto laku ndadosaken masyarakat ingkang guyup – rukun tentrem baldatun warabbun Ghofur,” urai Ovi dalam bahasa Jawa kental.
Sedangkan Tetua Mpu H.Sukarno Dahlan yang memimpin jalannya Ritual Jamasan mengungkapkan ada 7 Mpu di Desa Ngetos yang biasanya melaksanakan ritual bersama, namun pada saat itu ada satu Mpu yang berhalangan hadir.
Sukarno juga menceritakan hal ikwal Desa Ngetos disebut sebagai Desa Ngatas Angin.

“Mengapa disebut Desa Ngatas Angin, sejarahnya, Ngetos dulu sebagai Kadipaten Ngatas Angin yang pemerintahannya di bawah naungan Kerajaan Majapahit dengan Bupatinya bernama Seto Prawoto,” paparnya.
Bupati Seto Prawoto mempersunting Kakak dari orang tua Raja Hayam Wuruk atau (Bude) nya.Ada kemungkinan besar raja Hayam Wuruk dan Patih Gajahmada sering bertandang ke Kadipaten Ngatas Angin.
Terkait para Mpu, Dahlan menjelaskan jika para pembuat Pusaka di Ngetos di beri gelar dengan sebutan Mpu Punjul yang mana sebutan itu berasal dari Kerajaan Kediri.

Untuk Pusaka yang diwariskan oleh Mpu Punjul yang masih terawat dengan baik adalah sebuah tombak, sedangkan yang berupa / mirip dengan sabit tidak dijamas di situ karena memiliki kekuatan magis yang luar biasa.Diakhir, Mpu Dahlan menjelaskan arti dari Jamasan.
“Jamasan merupakan suatu bentuk penghormatan kepada para Mpu / pembuat benda – benda pusaka agar Desa Ngetos pamornya lebih tinggi dan juga ada yoninya seperti jaman dulu karena kita punya Candi Ngetos, maka kita uri – uri dan melestarikan budaya para leluhur kita/ nenek moyang kita,” pungkasnya.
(MAY).