JAKARTA, IFAKTA.CO – Terkait dugaan adanya pungutan liar (Pungli) di sekolah SMPN 264 Rawa Buaya Jakarta Barat, dengan dalil-dalil Pelepasan Siswa (Wisuda) yang dilakukan dihalaman Sekolah, sudah dilaporkan ke Kadisdik Jakarta Barat.
Hingga kini belum ada kabar kelanjutan terkait sangsi apa yang akan diberikan oleh pihak Sekolah? Senin (19/06/2023).
Perlu diketahui, pihak sekolah SMPN 264 Rawa Buaya Jakarta Barat lakukan penarikan uang untuk kegiatan wisuda sebesar Rp. 150.000,- per-murid terungkap dari salah satu siswa yang mengikuti kegiatan tersebut.
Iklan
Menurut informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, kegiatan Pelepasan Wisuda atau disebut Tasyakuran menelan biaya yang sangat tinggi hingga murid-murid menjadi korban untuk dikenakan biaya Rp. 150.000,-per-siswa, sedangkan yang mengikuti kegiatan tersebut sebanyak 221 murid tahun ajaran 2022-2023.
Namun amat disesali, meskipun sudah dilaporkan ke Kadisdik Jakarta Barat hingga kini pihak sekolah masih belum juga di lakukan pemeriksaan, meski Kasudisdik sudah di konfirmasi melalui via WhatsApp.
Terkesan melindungi, Kasudisdik mengabaikan konfirmasi terkait hal tersebut. Ini menjadi pertanyaan besar bagi publik. Ada Apa? Kenapa? Mengapa? Hal tersebut menjadi sorotan Pengamat Kinerja Pemerintah dari Kalangan Warga Sipil M.Syukur, mengapa bisa terjadi, ini tidak boleh dibiarkan.
“Kenapa pihak dinas tingkat administrasi Jakarta Barat tidak melakukan pemeriksaan terhadap Kepala Sekolah SMPN 264 tersebut yang dimana diduga melakukan kegiatan Pungutan liar (Pungli) ada apa ini ? Mengapa sudah beberapa hari ini masih landai saja ? Apakah ada kepentingan didalamnya..???,” tanya dia.
“Ayo dong bapak Kadisdik Jakarta Barat ini kan sudah ada laporan dan sudah tembusan apalagi sudah di publikasikan, panggil dan minta penjelasan apakah itu benar. Jangan sampai ini menjadi pandangan negatif terhadap kinerja Disdik kota administrasi Jakarta Barat,” pinta dia
Dalam persoalan pungli ini, pihak sekolah bisa dijerat dengan Pasal 12 huruf e UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Penyelenggaraan pendidikan yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dan dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, (menerima pembayaran dengan potongan), serta untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, bisa kena itu oknum,” ujarnya.
Oknum tersebut itu bisa dipidana dengan pidana atau Penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Ditanya akankah pihak sekolah bisa dijerat pasal di UU Tipikor meski pungli itu hasil inisiasi komite sekolah, Syukur pun menjawab, tetap bisa.
“Itu modus lama. Mereka mengatasnamakan atau bekerja sama dengan komite sekolah,” tegas dia
“Suatu perbuatan yang dilarang peraturan perundang-undangan seperti pungli, tetap terlarang ya, meskipun disetujui atau bahkan diprakarsai komite sekolah,” lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa selama pungli itu melibatkan orang atau manusia, maka mereka tetap bisa dijerat UU Tipikor. Bahkan, kalau melibatkan ASN tidak hanya dijerat UU Tipikor, tapi juga pasal penyertaan, yakni pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Dipidana sebagai pelaku tindak pidana: mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan,” bunyi pasal 55 KUHP.
Dalam pasal 10 ayat 2, sudah tertulis bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan. Juga, dalam pasal 12b, komite sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang untuk melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua atau walinya.
“Kebanyakan masih pakai istilah kesanggupan. Kalau kesanggupan atau kemampuan, bisa disebut paksaan secara halus. Nanti ada label-label disitu, misal ‘masa iya kerjanya pakai mobil, nyumbang segitu tidak sanggup,” sindir M.syukur
Dia menilai, sumbangan tidak berkaitan dengan kesanggupan maupun kemampuan, tetapi tentang kesediaan. Bisa saja, orang tua atau wali murid belum bersedia menyumbang, karena dananya terbatas, ada prioritas lain atau tidak yakin, uang yang dia berikan ke sekolah bakal dibuat untuk apa.