Perusahaan Pers tidak Akui Opini Sebagai Karya Jurnalistik ?

- Jurnalis

Minggu, 16 Februari 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Opini Ini Bukan Karya Jurnalistik
Oleh : Drs. Kamsul Hasan, SH, MH.

Ahli Dewan Pers berpendapat setiap konten pada media berbadan hukum pers adalah produk jurnalistik. Sengketa pemberitaan diselesaikan dengan prosedur UU Pers.

Namun sejumlah media berbadan hukum pers malah membuat disclaimer. Mereka mengumumkan opini yang dimuat pada medianya menjadi tanggung jawab penulis.

Itu artinya, media tersebut tidak mengakui opini anda sebagai karya jurnalistik. Perusahaan pers ini melempar tanggung jawab kepada penulis opini dengan Opini sebagai pendapat pribadi.

Dengan demikian sistem tanggung jawab fiktif sebagaimana dimaksud Pasal 12 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, sejak awal sudah dinyatakan tidak berlaku untuk sengketa opini pada rubrik citizen reporter.

Padahal bila opini diakui sebagai karya jurnalistik dan beban tanggung jawab sesuai Pasal 12 UU Pers, tak ada pidana badan. Prosedur sengketa bisa melalui hak jawab atau mediasi di Dewan Pers.

Sanksi terberat sengketa konten jurnalistik diatur Pasal 18 ayat (2) UU Pers. Ancaman maksimal pidana denda Rp 500 juta dan tak ada pidana badannya karena sistem pertanggungjawaban fiktif.

UU ITE sampai UU No. 1 tahun 1946

Penulis opini pada rubrik citizen reporter atau blogger harus hati-hati. Lepasnya tanggung jawab perusahaan pers, membuat opini citizen reporter menjadi obyek UU ITE sampai Pasal 14 UU No. 1 tahun 1946 yang ancamannya 10 tahun.

Perusahaan pers melepas tanggung jawab mereka karena faktor tidak mau repot baik dalam proses jurnalistik maupun tanggung jawab pasca pemberitaannya.

Proses jurnalistik mengharuskan opini itu diuji dengan KEJ dan berbagai rambu pemberitaan sebelum dipublikasikan.

Dengan gunakan disclaimer, perusahaan pers tidak melalui mekanisme kerja jurnalistik. Opini warga dibuat dan langsung diupload pembuatannya.

Hal ini menjadi celah hukum, sehingga polisi sebagai penyidik tak gunakan UU Pers. Alasan opini itu pun tanpa mematuhi kaidah jurnalistik.

Belakang banyak kasus gunakan UU ITE baik Pasal 27 ayat (3) pencernaan nama baik, Pasal 28 ayat (2) terkait SARA, sampai Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 tahun 1946 mengenai berita bohong yang menimbulkan kegaduhan.

Pembuat opini pun ditahan karena dimungkinkan UU ■

PROFIL PENULIS
Drs. Kamsul Hasan, SH, MH

– Staf pengajar pada sejumlah perguruan tinggi di Jakarta.
– Praktisi dan pengamat media. 
– Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat
– Ahli Pers Indonesia.
– Penasehat Hukum di Harian Pos Kota
– Konsultan Hukum dan Komunikasi

ADVERTISEMENT

ads

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berita Terkait

Aktivis Pesdam, Risky Syaifulloh: Kapolri Harus Komit Berantas Mafia di Tubuh Polri
Utak-atik Etik
Wijayanto Samirin, Analisis Pasca Pemilu: Momen Penentu Bagi Indonesia
Peran Pendidikan Politik Harus Mulai Diseriusi
AWK Berkelit Kasus Penutup Kepala itu Topi
Ahli Pers Drs. Kamsul Hasan, SH.,MH: UKW dan KKNI, Apa yang Membedakan?
Penyebab dan Dampak Konflik Israel-Palestina pada Oktober 2023
Tumpang Tindih UU No.37/2004 tentang PKPU dan Kepailitan dengan Hak Eksekutorial

Berita Terkait

Kamis, 26 September 2024 - 12:57 WIB

Aktivis Pesdam, Risky Syaifulloh: Kapolri Harus Komit Berantas Mafia di Tubuh Polri

Kamis, 30 Mei 2024 - 14:20 WIB

Utak-atik Etik

Kamis, 21 Maret 2024 - 15:30 WIB

Wijayanto Samirin, Analisis Pasca Pemilu: Momen Penentu Bagi Indonesia

Jumat, 19 Januari 2024 - 14:31 WIB

Peran Pendidikan Politik Harus Mulai Diseriusi

Jumat, 19 Januari 2024 - 11:16 WIB

AWK Berkelit Kasus Penutup Kepala itu Topi

Berita Terbaru

News

KORPRI Kadeudeuh untuk Purna Bhakti ASN 2024

Senin, 23 Des 2024 - 22:59 WIB